13 September 2008

Prospek Bank Syariah

PROSPEK PERBANKAN SYARI’AH DALAM TRANSFORMASI

EKONOMI ISLAM DI INDONESIA.

Oleh: M. Dawam Rahardjo.

Perkembangan perekonomian Islam dewasa ini bertumpu pada empat pilar. Pilar pertama, adalah korpus ekonomi Islam itu sendiri, yang berujud teori-teori ekonomi yang telah ditulis, baik oleh para ulama yang pada umumnya merupakan pembahasan mengenai hukum syari’ah di bidang ekonomi. Kedua, proses pendidikan dan latihan yang menciptakan tenaga-tenaga professional yang tidak saja mampu melaksanakan prinsip-prinsip ekonomi dan bisnis, tetapi juga memahami syari’ah dan lebih-lebih di bidang keuangan dan perbankan, mampu melaksanakan asas-asas prudensialitas, baik ekonomis maupun syari’ah. Ketiga, adalah perkembangan perbankan syari’ah dan lembaga keuangan syari’ah lainnya (asuransi tafakul, reksadana, obligasi, zakat dan wakaf). Keempat, adalah perkembangan bisnis di sektor riil, seperti pertanian, pertambangan, industri, perdagangan dan jasa. Keempat pilar itu berkaitan satu dengan yang lain. Sebagai contoh, beroperasinya sistem perbankan syari’ah secara berkesinambungan (sustainable) sangat bergantung pada mutu sumberdaya manusia (human resource) sebagai modal manusia (human capital) yang dihasilkan oleh sistem pendidikan dan latihan. Selanjutnya perkembangan pendidikan dan latihan juga bersumber pada perkembangan teori-teori dan konsep-konsep mengenai keuangan syari’ah. Perkembangan sektor riil pada gilirannya ditunjang oleh sektor keuangan dan perbankan dengan modal finansial.

Lahirnya ekonomi Islam di zaman modern ini cukup unik dalam sejarah perkembangan ekonomi. Ekonomi Islam, berbeda dengan ekonomi-ekonomi yang lain, lahir karena dua faktor. Pertama, berasal dari ajaran agama yang melarang riba dan menganjurkan sadaqah. Kedua, timbulnya surplus dan yang disebut petro-dollar dari negara-negara penghasil dan pengekspor minyak dari Timur Tengah dan negara-negara Islam. Adalah suatu kebetulan, bahwa lading-ladang minyak terbesar di dunia dewasa ini berada di negara-negara Muslim.

Sebenarnya kesadaran tentang larangan riba teleh menimbulkan gagasan pembentukan suatu bank Islam pada dasawarsa kedua abad ke 20. Tapi gagasan tersebut hanya melahirkan satu dua bank kecil yang tidak berdasarkan bunga. Sebabnya mudah dipahami, yaitu karena tiadanya modal finansial yang mencukupi yang dimiliki kaum Muslim. Pada waktu itu juga sudah disadari adanya doktrin sadaqah atau zakat dan K.H. Ahmad Dahlan sudah punya gagasan untuk membentuk lembaga amil (penghimpun dan pengelola) zakat. Tapi dana yang berhasil dikumpulkan itu dibutuhkan langsung untuk dakwah dan penyantunan fakir miskin. Karena itu belum ada gagasan untuk menjadikan dana zakat sebagai modal bank.

Gagasan penghimpunan zakat untuk modal bank baru timbul di Mesir pada awal dasawarsa 60-an. Maka pada tahun 1963, atas prakarsa seorang cendekiawan Mesir Dr. Ahmad al Najjar, dibentuk bank pedesaan (rural bank) bersama Mir-Ghamr Bank. Bank itu sesungguhnya cukup sukses, namun karena tersandung oleh alasan politik pada zaman pemerintahan otoriter Jamal Abdul Nasser, bank itu ditutup pada tahun 1967. Namun eksperiman bank Mir-Ghamr itu dihidupkan kembali dalam Nasr-Social Bank, dengan sponsor Pemerintah untuk menolong masyarakat lemah sebagai bagian dari sosialisme Arab-Mesir. Namun bank tersebut tidak lama umurnya karena berhenti beroperasi pada tahun 1976.

Dalam kasus dua bank perintis Mesir tersebut dapat ditarik beberapa pelajaran. Pertama, ajaran Islam mampu menggerakkan ide sosial-ekonomi. Ide spirit yang bersumber pada ajaran agama ini, sekarang disebut juga sebagai modal sosial (social capital). Kedua peranan cendekiawan yang memiliki suatu konsep yang mengoperasionalkan ajaran agama yaitu zakat dan larangan riba. Ketiga, dalam dua kasus

pendirian bank itu nampak peranan pemerintah, yang pertama bersifat negatif. Intervensi

kekuasaan yang bermotif politik menyebabkan tutupnya bank Mir-Ghamr, tetepi bersifat positif dalam kasus didirikannya Nasr-Social Bank. Hanya saja, karena tiadanya sifat bisnis pada Nasr Social Bank, maka bank tersebut tidak bisa berlanjut. Sedangkan Mir-Ghamr Bank cukup sukses berkembang, karena dijalankan secara professional, walaupun mengandung unsur sosial.

Perkembangan pesat bank-bank syari’ah yang lebih lazim disebut sebagai bank-Islam terjadi pada dasawarsa ’70-an, setelah terjadinya krisis minyak yang menimbulkan oil-boom pada tahun 1971. Dengan naiknya harga minyak hingga mencapai US$ 36,- per barel, maka terciptalah surplus dolar hasil ekspor minyak. Modal itu mula-mula melayang ke Eropa Barat dan AS untuk disimpan atau dibelikan saham-saham perusahaan-operusahaan besar. Dengan adanya surplus tersebut, dan secara kebetulan lahir pula generasi sarjana Muslim hasil didikan universitas-universitas Barat, maka timbul gagasan konspiratif untuk menampung dan menyalurkan modal tersebut di Dunia Islam sendiri. Maka berdirilah beberapa bank Islam di negara-negara Timur Tengah, terutama di Sudi Arabia, negera-negara Teluk dan Mesir pada dasawarsa ’70-an misalnya Dubai Islamic Bank (1973), di kawasan negara-negara Emirat Arab, Islamic Development Bank di Saudi Arabia (1975), Faisal Islamic Bank di Mesir (1977).Kuwait Haouse of Finmance di Kuwait (1977), atau Jordan Islamic Bank di Jordania (1978). Pada dasawarsa ’80-an timbul bank-bank Islam di negara-negara Eropa Barat, misalnya Islamic Bank Internasional di Denmark (1982), Islamic Banking System-Internasional Holding SA di Luxemburg atau Dar al Maal di Swiss. Pada tahun 1983 berdiri Bank Islam Malaysia dam di tahun yang sama juga di Pakistan, Pakistan Banking System. Baru pada tahun 1991 di Indonesia berdiri Bank Mu’amalat Indonesia (BMI).

Dalam pembentukan bank-bank di negara-negara Timur Tengah sangat berperan orang-orang kaya yang dekat dengan raja, dengan demikian pemerintah ikut berperamn mendukung. Sumber dananya berasal dari minyak yang dikuasai oleh keluarga raja. Ini berbeda dengan bank-bank di negara-negara industri maju yang berasal dari badan-badan usaha besar milik swasta. Di Indonesia, peranan pemerintah sangat penting yang ikut menghimpun dana dari BUMN.

Dewasa ini, menurut International Association for Islamic Bank, jumlah bank-bank Islam di seluruh Dunia Islam, yang mencakup 40 negara-negara Muslim mauopun non-Muslim sudah lebih dari 200 unit, padahal pada tahun 1986 baru berjumlah 35 unit, dengan aset sebesar US$200,- miliar, di antaranya deposito sebesar US$ 80,- miliar. Di antara bank-bank itu muncul kelompok trans-national group, yaitu Darl al Mal al Islamy dan al Baraqah-Dallah Group. Satu di antaranya adalah Islamic Development Bank (IDB), yang sahamnya dimiliki oleh negara-negara Islam yang tergabung dalam OKI (Organisasi Konperensi Islam). Setiap negara Muslim punya hak untuk meminta bantuan dana dari IDB ini, di antaranya Indonesia telah memperoleh dana melalui BMI yang memperoleh modal sehingga IDB ikut memiliki 35% saham BMI dan baru-baru ini BMI juga memperoleh dana tambahan sebesar US$ 100,- juta guna memperkuat permodalannya. Selain itu, Reksadana Syari’ah yang dulu dipimpin olkeh Iwan Poncowinoto, telah memperoleh pinjaman sebasar US$ 100,- miliar dan telah berhasil dikembalikan. Tapi secara umum Indonesia belum mamanfaatkannya secara maksimal.

Dari perjalanan perbankan dan lembaga keuangan Islam itu dapat ditarik katerangan, bahwa, perekonomian Islam yang selama ini berkembang dimulai modal fisik (physical capital) atau modal alam (natural capital), khususnya yang berasal dari minyak bumi. Dari hasil surplus ekspor minyak bumi ini terbentuk modal financial (financial capital).

Pola perkembangan ini sebenarnya juga terjadi dalam perekonomian AS yang kaya sumberdaya alam, terutama minyak dan emas. Demikian pula pola perkembangan negara-negara Eropa Barat. Hanya saja negara-negara Eropa Barat mengeksploitasi sumberdaya alam negara-negara jajahan melalui kolonialisme dan imperialisme.

Namun demikian, modal finansial tersebut belum berhasil menumbuhkan sektor riil, khususnya di bidang pertanian dan industri, walaupun telah menimbulkan industri pertambangan yang oil-related (seperti petro-kimia). Hal ini disebabkan karena dua hal. Pertama, belum adanya konsep pembangunan yang komprehensif, kecuali misalnya di Iran yang mengarah kepada pembangunan pertanian dan industrialisasi. Sebenarnya dana petro-dolar tersebut bisa dipergunakan untuk membangun pertanian di Mesir, Sudan dan beberapa negara Afrika Utara yang cukup berpotensi (misalnya di bidang hortikultura). Bahkan juga dapat diarahkan untuk membangun kawasan Islam di Asia Tenggara, khususnya Indonesia dan Malaysia. Di Indonesia, dana itu bisa ditanamkan di sektor kelautan, khususnya perikanan yang sangat potensial.

Namun hingga sekarangpun belum muncul gagasan untuk membangun usaha kecil dan menangah (UKM) di Dunia Islam. Namun di Indonesia, bank-bank syari’ah, khususnya BMI, telah mengarahkan 70% dananya untuk membiayai usaha UKM.

Demikian pula lembaga-lembaga perbankan syari’ah baru seperti Bank Syari’ah Mandiri (BSM), BNI-Syari’ah dan Bank IFI-Syari’ah, telah mengarahkan sebagian besar dananya untuk UKM.

Perkembangan penting dan khas perbankan syari’ah di Indonesia adalah berkembangnya Bait al Maal wa al Tamwil dan Bait al Tamwil Muhammadiyah. Jumlahnya sekarang sudah mendekati angka 4.000 unit dan Bank Perkreditan Rakyat Syari’ah (BPRS) yang jumlahnya sekitar 86 unit. Lembaga ini merupakan bentuk lembaga keuangan mikro yang sangat sukses. Dan berbeda dengan lembaga keuangan mikro atau Grameen Bank di Bangladesh, BMT dan BTM di Indonesia ini tumbuh dari bawah yang dikukung oleh deposan-deposan kecil. Walaupun tidak diakuyi sebagai bank, namun lembaga BMT-BTM ini telah menjalankan fungsinya sebagai lembaga intermediasi yang mengalola dana dari, untuk dan oleh masyarakat. Dengan perkataan lain BMT-BTM merupakan perwujudan demokrasi ekonomi. Apalagi sebagian besar BMT-BTM berbadabn hukum koperasi yang merupakan badan usaha yang berdasarkan azas kekeluargaan yang sesuai dengan Islam. Namun lembaga keuangan mikro ini masih tetap kekurangan dana disbanding dengan kebutuhan dana masyarakat.

Salah satu ciri khas lembaga keuangan Islam adalah kaitannya yang erat dengan sektor riil, sebab dalam sistem non-ribawi, penghasilan lembaga keuangan tergantung dari keuntungan, terutama yang bersumber dari nilai-tambah yang diciptakan oleh sektor riil, khususnya pertanian dan industri. Karena itu, maka pertumbuhan perbankan syariah dan lembaga keuangan mikro syari’ah perlu ditunjang dengan pengembangan bisnis.

Strategi pengembangan UKM ini erat kaitannya dengan strategi yang diusulkan oleh Samir Amin, Bung Hatta dan Sritua-Arif. Berdasarkan pengalaman yang dipelajari oleh Samir Amin, ekonom-politik Mesir, negara-negara yang sekarang telah menjadi negara industri maju, pada awal perkembangannya menempuh strategi produksi barang-barang kebutuhan rakyat banyak yang dikaitkan dan dikuti dengan pengembangan industri barang-barang modal. Baru pada tahap kedua, produksi bisa diarahkan kepada barang-barang kebutuhan golongan menengah ke atas dan yang berorientasi ekspor. Namun di Indonesia, produksi UKM bisa pula diarahkan ke ekspor dan bahkan memproduksi barang-baeah mewah, misalnya dalam bentuk kerajinan yang mengandung nilai seni. Industri mebel, baik dari rotan mapun kayu, justru memperoleh pasarnya di luar negeri dan kota-kota besar dan segmen masyarakat yang berpendapatan tinggi.

Dalam pengembangan sektor riil ini, faktor lain muncul, yaitu sumberdaya manusia (human resource). Dalam dua bukunya, “Intellectual Capital: The New Wealth of Organization” (1998) dan bukunya yang lebih baru “The Wealth of Knowledge: Intellectual Capital and the Twenty-First Century Organization” (2001), Thomas A. Stewart menyabut beberapa jenis modal (capital), misalnya, tanah (land), pabrik-pabrik (factories), alat-alat (equipment), uang tunai (cash) dan kepandaian (intellectual). Identifikasi Stewart tersebut bisa dikelompok-kelompokkan ke dalam berbagai jenis modal yang kini beragam itu. Tanah (pertanian dan pertambangan) termasuk kedalam modal alam, pabrik-pabrik dan alat-alat (termasuk mesin) ke dalam modal material (material capital), uang tunai ke dalam modal finansial (financial capital) dan kepandaian termasuk ke dalam modal intellectual (intellectual capital). Stewart dalam kedua bukunya mengatakan, bahwa di zaman modern abad ke 21 ini, peranan modal intelektual sangat penting. Secara khusus ia menyabut peranan pengetahuan (knowledge), informasi (information), hak milik intelektual (intellectual property) dan pengalaman kolektif (collective experience) yang kesamuanya merupakan unsurp-unsur modal intelektual. Semua jenis modal itu adalah merupakan sumber penciptaan kekayaan (wealth).

Mengikuti konsep pembangunan Samir Amin yang sebenarnya pernah dikemukakan pula oleh Bung Hatta dan diulangi oleh Sritua Arief, maka yang perlu dilakukan oleh umat Isloam dan bangsa Indonesia adalah membangun industri, namun industri yang saling menunjang pertanian. Pembangunan pertanian dan pertambangan akan menggunakan modal alam. Karena pembangunan pertambagan membutuhkan modal besar, maka harus diundang modal dari Timur Tengah. Misalnya saja, dalam rangka dinarisasi mata uang, perlu dikembangkan pertambangan emas yang cukup melimpah di Indonesia. Pengembangan UKM untuk menghasilkan barang-barang kebutuhan missal itu perlu diikuti oleh pengembangan industri barang modal, walaupun dengan teknologi sedarhana mengikuti pola India, Cina ,Taiwan dan Jerman yang menghasilkan alat-alat pertanian dan industri kecil. Ini tentu saja membutuhkan teknologi yang berarti membutuhkan modal intelektual.

Pendidikan dan penelitian akan memagang peranan penting dalam penciptraan modal intelektual. Tapi lembaga pendidikan ini perlu langsung bekerjasama dengan industri dan pertanian. Disini peranan organisasi besar semacam NU, Muhammadiyah, al Irsyad, Persis, al Wasliyah atau Darul Da’wah wal Irsyad di Sulawesi Tengah, sangat penting. Sebenarnya, industri perkapalan dan dirgantara yang dikembangkan oleh BPPT perlu dipertimbangkan lagi. Amerika Serikat sangat kuat sektor industrinya karena memiliki industri yang menghasilkan teknologi, yaitu General Electric. AS juga punya industri mobil terbesar du dunia, yaitu General Motor Sedangkan Jerman memiliki Daimler Crysler, Jepang memiliki memiliki Honda atau Mitsubisi. Industri-industri itu mengandung berbagai jenis modal secara terpadu, terutama modal material dan modal intelektual.

Indonesia dan Dunia Islam dewasa ini baru dalam taraf memperhatikan modal manusia yang unsur utamanya adalah pengetahuan (knowledge), ketrampilan (skill). Modal manusia yang dibutuhkan adalah wiraswasta, tenaga teknik dan manajer. Hanya saja pengembangan SDM ini membutuhkan waktu lama, karena itu perlu ditemukan bentuk-bentuk pendidikan yang lebih praktis misalnya sistem magang sebagaimana dikembabgkan di Jerman sejak abad pertengahan. Pendidikan turun menurun, melalui keluarga memerlukan perhatian dan karena itu perlu mendapatkan perhatian pemerintah.

Modal yang dimiliki oleh umat Islam dewasa ini adalah modal natural dan dalam batas-batas tertentu, modal finansial. Dalam hal ini, perlu diperhatikan temuan De Soto yang mengatakan bahwa sebenarnya penduduk negara-negara sedang berkembang yang dianggap miskin itu sebenarnya sangat besar, tapi puso (idle). Salah satu langkah yang dianjurkan adalah pengembangan hak-milik (property right). Program yang sebenarnya telah dilaksanakan di Indonesia, adalah sertifikasi tanah. Jika tanah-tanah sudah disertifikasi, maka nilai modal natural akan meningkat secara signifikan. Dengan sertifikat itu, masyarakat bisa mengakses modal dari perbankan dan lembaga keuangan mikro guna mengembangkan UKM. Lembaga keuangan juga bisa melakukan sekuritisasi hak milik tersebut, dalam rangka menghimpun modal.

Berdasarkan teori De Soto, perlu dikembangkan harta agama, khususnya zakat, sadaqah, infaq dan wakaf. Bank bisa berperan membantu usaha-usaha mobiklisasi dana ini. Baru-baru ini, oleh Prof. A. Mannan, telah dikembangkan produk wakaf tunai (cash wakaf). Berdasarkan perhitungan di atas`kertas, wakaf tunai ini sangat besar potensinya dan merupakan sumber modal financial yang sangat potensial. Namun sekali lagi hal ini memerlukan dukungan modal manusia dan modal intelektual.

Salah satu modal lain yang perlu diperhatikan adalah modal sosial yang dipropagandakan oleh Fukuyama. Sebenarnya, ajaran Islam merupakan sumber modal sosial ini, misalnya dalam ajaran amanah (trust) ta’awwun (cooperation), saling mengenai (ta’aaruf) dan banyak lagi. Hanya saja ajaran-ajaran itu belum diinterpretasikan sejalan dengan pemikiran ekonomi dan pembangunan. Sekali lagi disini sangat penting peranan perguruan tinggi dan lembaga pendidikan dan latihan pada umumnya. Setiap pendidikan pengetahuan dan ketrampilan, perlu ditunjang dengan pendidikan untuk menciptakan modal sosial ini, karena menurut Fukuyama, modal sosial, berdasarkan pengalaman negara-negara industri maju sekarang ini, merupakan dasar dari kemajuan.

Tidak ada komentar: