Analisis Perambatan Gelombang Gempa pada
Batuan Dasar ke Permukaan Tanah
Wimpie A. N. Aspar
Peneliti BPP Teknologi
ABSTRAK
Pada saat gempa terjadi, kerusakan utama beberapa struktur bangunan karena pecahan-pecahan, gerakan yang tidak normal dan/atau tidak sama, dan kehilangan kekuatan dan/atau kekakuan tanah. Kehilangan kekuatan atau kekakuan tanah terjadi akibat penurunan bangunan, tanah longsor dan bencana lainnya. Proses kehilangan kekuatan yang terjadi dalam tanah akibat membesarnya tekanan air pori biasanya disebut likuifaksi tanah. Pada kondisi likuifaksi tegangan efektif tanah besarnya menjadi sama dengan nol. Likuifaksi tanah pada umumnya berlangsung saat terjadi gempa bumi. Hasil analisis respon dinamik akibat gempa memberikan gambaran percepatan riwayat waktu perambatan gelombang geser di permukaan tanah. Selanjutnya riwayat waktu penjalaran gelombang ini merupakan dasar untuk penentuan analisis dinamik struktur atas bangunan.
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kepulauan Indonesia adalah salah satu wilayah di dunia dengan aktifitas gempa yang relatif tinggi, sekaligus merupakan wilayah tektonik yang sangat aktif dan kompleks. Hal ini disebabkan karena posisi Indonesia berada pada pertemuan empat lempeng tektonik dunia, yaitu lempeng Australia, lempeng Eurasia, lempeng Pasifik dan lempeng Philipina yang bergerak dengan kecepatan dan arah yang berbeda-beda (lihat Gambar 1). Apabila ditinjau terhadap percepatan puncak gempa di permukaan bumi, maka lebih dari setengah wilayah Indonesia memiliki kekuatan gempa sedang sampai tinggi dengan kedalaman pusat gempa dari dangkal sampai sangat dalam, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2. Karena lokasinya yang rawan terhadap gempa, maka pembangunan di Indonesia harus mempertimbangkan besarnya beban gempa pada perencanaan suatu bangunan. Berkaitan dengan aspek keamanan, bangunan-bangunan tersebut harus dirancang sebagai bangunan tahan gempa. Jika tidak dirancang dengan baik terhadap bahaya gempa, maka kerugian yang mungkin terjadi akan sangat besar mengingat tingginya resiko gempa di Indonesia.
Gambar 1: Lempeng Tektonik di Dunia (SqiQuest NetLink, 2001)
Pada saat gempa bumi, kerusakan utama beberapa tipe struktur terjadi karena terjadi pecahan-pecahan, gerakan yang tidak normal dan/atau tidak sama, dan kehilangan kekuatan atau kekakuan tanah. Kehilangan kekuatan atau kekakuan tanah merupakan akibat penurunan bangunan-bangunan, kegagalan bendungan tanah, tanah longsor dan bencana lainnya. Proses kehilangan kekuatan yang terjadi dalam tanah akibat membesarnya tekanan air pori biasanya disebut likuifaksi tanah. Gejala likuifaksi tanah utamanya berhubungan dengan tanah jenuh tanpa kohesi berbutir halus sampai kasar. Contoh likuifaksi tanah yang berhubungan dengan kerusakan terbesar adalah gempa bumi di Niigata, Jepang pada tanggal 16 Juni 1964 dan gempa bumi di Alaska pada tahun 1964.
Salah satu usaha yang pertama kali dilakukan untuk menjelaskan gejala likuifaksi di tanah pasir dilakukan oleh Casagrande (1936) dan didasarkan pada konsep angka pori kritis. Pasir padat, bila menjadi mengalami pembebanan geser, cenderung untuk muai; pasir lepas, untuk kondisi yang sama, cenderung volumenya berkurang. Angka pori dimana pada saat pasir diberi gaya geser tidak mengalami perubahan volume disebut sebagai angka pori kritis. Casagrande menjelaskan bahwa deposit pasir yang memiliki angka pori lebih besar dari angka pori kritis cenderung volumenya berkurang bila digetarkan oleh pengaruh seismik. Jika drainase tidak dapat berlangsung, maka tekanan air pori secara perlahan meningkat. Pada suatu saat mungkin besarnya tegangan total tanah akan sama dengan tekanan air pori. Bila hal tersebut terjadi, maka tegangan efektif tanah akan sama dengan nol. Dalam keadaan demikian, tanah granular jenuh tidak memiliki kekuatan geser dan kondisi ini akan mengakibatkan keadaan likuifaksi.
Gambar 2: Peta Seismisitas di Indonesia (BMG, 2003)
1.2. Maksud Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dalam rangka melakukan analisis respon dinamik tanah (spektra) dan analisis sejarah perambatan gelombang gempa. Perilaku tanah granular jenuh yang berpotensi mengalami likuifaksi sewaktu terjadi gempa dievaluasi. Dengan demikian dapat ditentukan tipe podasi yang sesuai dalam menahan beban gempa untuk berbagai jenis tanah di Indonesia.
II. ANALISIS RESPON DINAMIK TANAH
2.1. Konsep Analisis
Analisis perambatan gelombang dari batuan dasar ke permukaan tanah perlu dilakukan untuk memperkirakan besarnya amplifikasi yang dapat terjadi sebagai fungsi percepatan puncak pada batuan dasar (peak baserock acceleration = PBA), kandungan frekuensi, dan karakteristik tanah setempat yang ditunjukkan dengan kecepatan gelombang geser (S-wave) pada lapisan-lapisan tanah. Selain itu, analisis ini akan dapat memberikan gambaran percepatan riwayat waktu di permukaan tanah. Percepatan riwayat waktu ini dapat digunakan untuk analisis dinamik struktur atas suatu bangunan. Dalam kajian ini, analisis perambatan gelombang dilakukan sebagai input motion struktur atas.
2.2. Perambatan Gelombang Satu Dimensi
Selama terjadinya gempa akan terjadi penjalaran gelombang dari batuan dasar ke permukaan tanah. Selama penjalaran gelombang gempa akan terjadi amplifikasi atau deamplifikasi. Perjalanan perambatan gelombang sangat dipengaruhi oleh sifat-sifat dinamik tanah yang dilewati oleh gelombang gempa tersebut. Pengaruh kondisi tanah setempat telah dibahas oleh beberapa peneliti. Hampir semua peneliti mengambil asumsi bahwa respon utama disebabkan oleh penjalaran gelombang geser (shear wave) dari batuan dasar ke permukaan tanah. Salah satu teori yang sering digunakan adalah teori perambatan gelombang geser harmonik satu dimensi oleh Kanai (1951) dan Lysmer dkk. (1972).
Perambatan gelombang yang terjadi selama berlangsungnya gempa sangat dipengaruhi oleh kondisi tanah setempat. Perambatan gelobang geser dari batuan dasar ke permukaan dilakukan untuk memperoleh percepatan maksimum, faktor amplifikasi dan spektrum respon di permukaan tanah. Analisis ini didasarkan pada anggapan bahwa lapisan tanah terdiri dari beberapa lapis dan respon tanah disebabkan oleh adanya perambatan gelombang geser (shear wave) secara vertikal dari batuan dasar ke permukaan.
Perambatan vertikal gelombang geser pada sepanjang lapisan tanah dengan berbagai lapisan ditunjukkan pada Gambar 3, yang merupakan perambatan gelombang dan hanya akan menyebabkan perpindahan (displacement) dalam arah horizontal saja (satu dimensi). Pemodelan itu dapat ditulis dengan persamaan
(1)
Gambar 3: Sistem Perambatan Gelombang Geser Satu Dimensi
yang harus memenuhi persamaan gelombang berikut ini
(2)
Perpindahan harmonik (harmonic displacement) dengan frekuensi * dapat ditulis dalam bentuk
(3)
Substitusi Persamaan 3 kedalam Persamaan (2) menghasilkan suatu persamaan differensial biasa
(4)
dimana Persamaan (4) tersebut mempunyai penyelesaian umum sebagai berikut
(5)
dimana harga k didefinisikan sebagai
(6)
k adalah bilangan gelombang kompleks (complex wave) sedangkan G* adalah modulus geser kompleks. Viskositas (kekentalan) * dapat dihasilkan dari perkalian antara damping kritis dan G, yang dirumuskan sebagai berikut
(7)
Pengujian pada beberapa material menunjukkan bahwa harga G dan mendekati konstan pada daerah frekuensi yang menjadi hal pokok yang perlu diperhatikan dalam analisis. Hal ini akan mempermudah menunjukkan modulus geser kompleks dalam bentuk damping kritis yang konstan terhadap perubahan viskositas, yaitu
(8)
Penggabungan Persamaan (3) dan Persamaan (5) menghasilkan penyelesaian untuk persamaan gelombang harmonik terhadap frekuensi, dan dinyatakan sebagai berikut
(9)
Bentuk pertama dari Persamaan (9) menyatakan perambatan gelombang searah dengan sumbu x negatif (ke atas), sedangkan bentuk kedua menyatakan pantulan gelombang yang menjalar searah sumbu x positif (ke bawah). Persamaan (8) berlaku untuk tiap-tiap lapisan pada Gambar 3. Dengan memperkenalkan koordinat lokal sistem sumbu x untuk tiap-tiap lapisan, perpindahan pada bagian atas dan bawah lapisan m adalah
(10)
Tekanan geser pada sebuah permukaan horizontal adalah
(11)
Dengan mensubstitusikan turunan pertama Persamaan (8) terhadap variabel x kedalam Persamaan (11), didapat
(12)
tekanan geser pada bagian atas dan bawah lapisan m secara berturut-turut adalah
(13)
(14)
Tegangan geser dan perpindahan (displacements) harus menerus pada setiap permukaan lapisan. Sehingga dengan Persamaan (9), (10), (13), dan (14) dkidapat
(15)
(16)
Dari pemisahan dan penjumlahan Persamaan (15) dan (16), didapat
(17)
(18)
dimana *m adalah perbandingan impedansi kompleks (complex impedence ratio) yang tidak bergantung pada frekuensi, dan dapat ditulis sebagai berikut
(19)
Tegangan geser pada permukaan tanah sama dengan nol, sehingga jika *1 dan x1 sama dengan nol maka akan didapat E1 = F1 yaitu amplitudo kejadian dan gelombang pantul yang selalu sama untuk setiap permukaan bebas. Mulai dengan permukaan bebas, secara berulang menggunakan formula rekursif (recursion formulas) Persamaan (17) dan (18) berpengaruh pada hubungan antara amplitudo pada lapisan m dan pada permukaan lapisan tersebut
(20)
Transfer fungsi em dan fm akan lebih mudah untuk amplitudo E1 dan E2 = 1, dan dapat dihitung dengan mensubstitusikan kondisi ini kedalam rumus recursion pada Persamaan (17) dan (18). Transfer fungsi lain lebih mudah diperoleh dari fungsi em dan fm. Fungsi transfer An,m antara perpindahan pada level n dan m didefinisikan sebagai berikut
(21)
Dengan mensubstitusikan Persamaan (19), serta kedua fungsi transfer tersebut akan diperoleh
(22)
Berdasarkan pada Persamaan (22) ini dapat ditemukan fungsi transfer A(*) antara dua lapisan pada sistem. Sehingga jika gerakan diketahui pada suatu lapisan, maka gerakan pada lapisan lain dapat dihitung.
Amplitudo E dan F kemudian dapat dihitung untuk setiap lapisan pada sistem, dan regangan, perpindahan serta percepatan diperoleh dari fungsi perpindahan tersebut.
(23)
dan regangan dengan
(24)
2.3. Perilaku Non-linear Tanah
Beberapa masalah dalam bidang geoteknik menunjukkan perilaku non-linear (nonlinearity) dari material tanah. Parameter-parameter tanah yang digunakan dalam perencanaan dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti keadaan tegangan-regangan, adanya tegangan setempat (in situ stresses), sambungan (joints), ketidakkontinuan (discontinues), pembebanan, suhu dan adanya tekanan air pori. Hal tersebut dipertimbangkan dalam perencanaan, sehingga salah satu pengaruhnya, hubungan tegangan dan regangan akan menjadi komplek. Beberapa prosedur yang dapat digunakan di dalam penyelesaian masalah non linear dari material tanah diantaranya adalah dengan mensimulasikan perilaku non linear dengan suatu prosedur iteratif seperti prosedur linear inkrimental (secant stiffness) atau prosedur Newton-Raphson (tangent stiffness).
2.4. Sifat Dinamik Tanah
Beberapa sifat dinamik tanah yang harus dipertimbangkan dalam evaluasi respon dinamik akibat pergerakan tanah adalah modulus geser tanah (G), rasio redaman (dampinga) (Di), rapat massa () dan kecepatan gelombang geser (vs). G sangat tergantung pada regangan yang terjadi. Nilai G menurun dengan pertambahan regangan geser. Pada regangan yang rendah, modulus geser mencapai harga maksimum. Uji penetrasi standar (SPT) dapat digunakan untuk korelasi di dalam menentukan harga G (Seed dkk., 1986).
2.4.1 Modulus Geser dan Damping Ratio pada Pasir
Hardin dan Richard (1963) melaporkan hasil beberapa pengujian menggunakan resonant column yang dilakukan pada pasir Ottawa kering. Kecepatan gelombang geser (vs), besarnya tidak tergantung pada gradasi, distribusi ukuran butir, dan kerapatan relatif pada pemadatan tetapi tergantung pada angka pori e, dan tegangan efektif ’. Hubungan tersebut ditunjukkan sebagai berikut
vs = (19,7 – 9,06e)’1/4 untuk ’ 95,8 kN/m2 (25)
vs = (11,36 – 5,35e)’0.3 untuk ’ < 95,8 kN/m2, (26)
Berdasarkan pada kecepatan gelombang geser yang dijelaskan tersebut, modulus geser pasir untuk getaran rendah dapat diberikan sebagai berikut (Hardin dan Black, 1968)
(untuk bentuk butiran bulat) (27)
(untuk bentuk butiran runcing) (28)
2.4.2 Korelasi Gmaks Pasir dan Tahanan Standar Penetrasi
Uji penetrasi standar digunakan pada penyelidikan tanah di Amerika dan negara-negara lain. Angka standar penetrasi dapat dikorelasikan (Seed dkk., 1986) dengan perkiraan modulus geser maksimum adalah
Gmaks 35 x 1.000 (’)0,4 (29)
dimana N60 adalah nilai N yang diukur pada SPT sampai 60% energi jatuh bebas batang bor teoritis.
2.4.3 Modulus Geser dan Damping Rasio untuk Lempung
Untuk regangan dengan amplitudo rendah, modulus geser G = Gmaks untuk tanah lempung sensitif dapat ditunjukkan sebagai berikut (Hardin dan Drnevich, 1972) :
(30)
dimana OCR = over consolidation ratio (rasio terlalu terkonsolidasi) dan K = konstanta = fungsi dari indek plastisitas (PI). Untuk lempung terkonsolidasi normal, Booker dan Ireland (1965) mengkorelasikan sebagai berikut
Ko = 0,4 + 0,007(PI) untuk 0 PI 40% (31)
Ko = 0,68 + 0,001(PI – 40) untuk 40% PI 80% (32)
III. BEBAN GEMPA DAN KONDISI TANAH UNTUK BANGUNAN DI INDONESIA
3.1. Zonasi Pembebanan Seismik
Zonasi pembebanan gempa di Indonesia pada peraturan bangunan tahan gempa yang saat ini berlaku, adalah Peraturan Perencanaan Tahan Gempa Indonesia Untuk Gedung (PPTGIUG). Menurut peraturan ini wilayah gempa di Indonesia diklasifikasikan atas enam zona seperti ditunjukkan pada Gambar 4. Zona satu menunjukkan daerah dengan percepatan gempa yang paling besar dan zona enam dengan percepatan gempa yang paling kecil (relatif stabil). Peraturan ini didasarkan pada kriteria 10% kemungkinan percepatan maksimum akan terlampaui dalam waktu 20 tahun umur bangunan, atau setara dengan periode ulang gempa 200 tahun.
Peraturan perencanaan bagunan tahan gempa di Indonesia saat ini sedang melalui proses revisi. Pada usulan zonasi gempa di Indonesia yang baru (tim zonasi gempa Indonesia), zona gempa di Indonesia nantinya direncanakan untuk dibagi atas enam zona dengan tingkat percepatan gempa untuk masing-masing zona meningkat. Zona satu dengan percepatan gempa yang paling kecil (stabil) dan zona enam dengan tingkat percepatan gempa terbesar. Percepatan gempa yang diusulkan adalah seperti berikut:
Zona 1 : 0,05 g
Zona 2 : 0,05 – 0,15 g
Zona 3 : 0,15 – 0,20 g
Zona 4 : 0,20 – 0,25 g
Zona 5 : 0,25 – 0,30 g
Zona 6 : 0,30 – 0,40 g
Gambar 4: Zonasi Gempa di Indonesia (PPTGIUG, 1983)
Pembagian zona ini didasarkan atas perbedaan besarnya perkiraan percepatan gempa permukaan untuk masing-masing wilayah di Indonesia. Dengan adanya zonasi gempa baru yang masih sedang dikembangkan diharapkan nantinya dapat digunakan untuk menentukan besarnya beban gempa untuk merancang suatu bangunan tahan gempa. Pada revisi peraturan ini kriterianya adalah 10% kemungkinan percepatan maksimum akan terlampaui dalam waktu 50 tahun umur bangunan, atau setara dengan periode ulang gempa 475 tahun. Untuk keperluan rancangan bangunan tahan gempa, perlu dibuat suatu kriteria yang jelas mengenai ketahanannya terhadap beban gempa.
3.2. Klasifikasi Tanah
Kondisi tanah setempat mempunyai peran yang sangat penting dalam menentukan respons suatu lokasi (site) terhadap gelombang gempa. Respons gempa yang tiba di batuan dasar bisa diperkuat atau berubah kandungan frekuensinya karena tersaringnya getaran berfrekuensi tinggi. Sebaliknya, intensitas gempa itu sendiri menentukan linear tidaknya renspon suatu lokasi yang nantinya berpengaruh pada perioda alami (natural period) di lokasi tersebut. Faktor-faktor ini sangat penting untuk dipahami sehingga bisa diantisipasi respon suatu bangunan yang terletak di suatu lokasi tertentu. Pada gilirannya akan menghasilkan suatu perancangan bangunan yang aman dan efisien. Tingginya intensitas gempa yang tercatat di stasiun yang terletak pada tanah lunak lebih banyak disebabkan oleh adanya amplifikasi gelombang gempa pada saat merambat dari batuan dasar ke permukaan.
Berdasarkan uraian sebelumnya sangat diperlukan adanya klasifikasi tanah yang praktis untuk menunjukkan variasi kekakuan tanah atau sifat dinamik tanah dapat digunakan untuk mengetahui seberapa besar amplifikasi percepatan gempa yang dapat terjadi dari batuan dasar ke permukaan tanah. Klasifikasi ini berdasarkan pada rata-rata penetrasi standar ( -SPT), rata-rata kecepatan gelombang geser ( ) dan rata-rata kuat geser tak teralirkan (undrained) ( ) untuk lapisan tanah setempat.
Kondisi lokasi dengan klasifikasi tanah yang berbeda akan mempengaruhi karakteristik gempa seperti amplitudo, jumlah frekuensi dan durasi dari gerakan tanah. Sesungguhnya, respon gempa tergantung dari geometri dan sifat-sifat material bawah permukaan (subsurface), pada topografi lokasi dan karakteristik dari input motion.
Kondisi tanah lokal pada Peraturan Perencanaan Tahan Gempa Indonesia Untuk Gedung (PPTGIUG) hanya mempertimbangkan dua klasifikasi tanah; yaitu tanah keras dan tanah lunak. Pengaruh kondisi tanah lokal perlu ditinjau kembali dan diperbaharui dengan mempertimbangkan kondisi tanah yang lebih rinci. Hal ini perlu didasarkan pada analisis respon lokasi tertentu (site specific) dengan mempertimbangkan sifat dinamik tanah, besarnya percepatan gempa di batuan dasar dan kandungan frekuensi yang dipengaruhi oleh kedalaman dari lapisan tanah. Rekomendasi respon spektra rencana selain mempertimbangkan sifat dinamik tanah dengan analisis perambatan gelombang gempa dari batuan dasar kepermukaan, juga dibandingkan dengan respons spektra rencana yang didasarkan pada Uniform Building Code (UBC, 1997) dan Borcherdt (1994).
Respon spektra rencana perlu mempertimbangkan sifat dinamik tanah dengan analisis perambatan gelombang gempa dari batuan dasar ke permukaan. Dengan mempertimbangkan parameter-parameter yang didapat pada respon spektra rencana, direkomendasikan untuk mengklasifikasikan tanah ke dalam empat klasifikasi, yaitu: batuan (S1), tanah keras (S2), tanah sedang (S3) dan tanah lunak (S4). Klasifikasi ini dibuat dengan berdasarkan pada rata-rata uji penetrasi standar ( -SPT), rata-rata kecepatan gelombang geser ( ) atau rata-rata kuat geser tak teralirkan (undrained) ( ) untuk tanah lempung. Pedoman yang dibuat berdasarkan UBC 97 dipergunakan dalam hal ini untuk mengklasifikasikan tanah. Persamaan (33), (34) dan (35) berikut ini dapat digunakan untuk menentukan besarnya -SPT, dan dengan kedalaman tanah 30 m pertama (UBC97).
(33)
(34)
(35)
dimana:
di = tebal lapisan tanah ke i;
ds = tebal lapisan tanah tidak kohesif pada 30 m pertama;
dc = tebal lapisan tanah kohesif pada 30 m pertama;
vsi = kecepatan gelombang geser pada lapisan tanah ke i;
Ni = tahanan penetrasi standar untuk lapisan tanah ke i; dan
sui = kuat geser tanah undrained lapisan tanah ke i.
Klasifikasi ini digunakan dalam kajian ini dan untuk memberikan rekomendasi/pedoman rancangan pondasi untuk berbagai zonasi gempa.
IV. PEMBAHASAN DAN HASIL
Analsis yang dilakukan pada kajian ini menggunakan kasus data gempa yang terjadi di Jakarta. Hasil analisis perambatan gelombang gempa dari batuan dasar ke permukaan tanah dilakukan dengan menggunakan input motion (gerakan masukan) dengan periode ulang gempa 500 tahun dengan percepatan gempa maksimum 0,17 g. Input motion yang dihasilkan pada batuan dasar dapat dilihat seperti pada Gambar 5. Selama penjalaran gelombang gempa dari batuan dasar ke permukaan tanah, sangat dipengaruhi oleh kondisi lapisan tanah setempat. Kondisi tanah setempat ini diperhitungkan dalam analisis menggunakan beberapa rumus-rumus seperti telah dijelaskan sebelumnya. Percepatan riwayat waktu untuk permukaan tanah akan mengalami amplifikasi atau deamplifikasi selama waktu 40 detik pertama sebagai pengaruh dari kondisi tanah setempat.
Gambar 5: Riwayat Waktu Percepatan Gempa pada Batuan Dasar
Hasil rambatan gelombang dalam bentuk percepatan riwayat waktu untuk permukaan tanah disajikan pada Gambar 6. Percepatan riwayat waktu ini nantinya dapat digunakan sebagai masukan didalam mempertimbangkan besarnya beban gempa untuk perhitungan struktur bangunan di atasnya. Selama penjalaran gelombang terjadi perubahan besarnya percepatan sebagai akibat dari kondisi lapisan yang dilaluinya. Pada permukaan tanah ini percepatan gempa terjadi amplifikasi relative cukup besar selama penjalaran waktu percepatan gempa 20 detik pertama. Selanjutnya terjadi deamplifikasi sampai riwayat waktu 40 detik.
Variasi dari percepetan gempa selama perambatan dari batuan dasar ke permukaan tanah disajikan pada Gambar 7. Dapat dilihat pada Gambar 7 bahwa percepatan gravitasi sangat bervariasi pada permukaan tanah sampai kedalaman 60 meter di bawah permukaan tanah. Selanjutnya pada kedalaman lebih besar dari 60 meter percepatan gravitasi relatif konstan sampai pada kedalaman kira-kira 310 meter di bawah permukaan tanah. Hal ini terjadi kemungkinan besar karena pada kedalaman lebih besar dari 60 meter lapisan batuannya relatif seragam. Akan tetapi pada kedalaman lebih besar dari 310 meter dari permukaan tanah, percepatan gempa mulai membesar.
Selain itu dapat juga dikeluarkan renpon spektra untuk masing masing lokasi tempat perambatan gelombang. Dari beberapa hasil perambatan gelombang dari batuan dasar ke permuakaan tanah dapat dibuat respon spektra untuk suatu klasifikasi tanah tertentu. Tempat-tempat dengan klasifikasi tanah yang sama akan dikumpulkan untuk membuat respon spektra. Gambar 8 menunjukkan respon spektra untuk suatu klasifiksi tanah tertentu. Dari respon spektra seperti terlihat pada Gambar 8, dapat dibuat respon spectra rencana yang dapat digunakan di dalam perencanaan struktur bangunan tahan gempa.
Gambar 6: Riwayat Waktu Percepatan Gempa pada Permukaan Tanah
V. PENUTUP
Berdasarkan hasil analisis dan penelitian yang dilakukan dapat disampaikan beberapa hal sebagai berikut:
5.1. Kesimpulan
1. Selama penjalaran gelombang gempa dari batuan dasar ke permukaan tanah, sangat dipengaruhi oleh kondisi lapisan tanah setempat. Percepatan riwayat waktu untuk permukaan tanah akan mengalami amplifikasi atau deamplifikasi sebagai pengaruh dari kondisi tanah setempat.
2. Pada permukaan tanah, percepatan gempa terjadi amplifikasi relatif cukup besar selama penjalaran waktu percepatan gempa 20 detik pertama. Selanjutnya terjadi deamplifikasi sampai riwayat waktu 40 detik.
3. Pada batuan dasar, nampaknya percepatan gempa terjadi amplifikasi relatif cukup besar selama penjalaran waktu percepatan gempa 40 detik. Hal ini terjadi karena selama penjalaran gelombang gempa terjadi perubahan besarnya percepatan sebagai akibat dari kondisi lapisan yang dilaluinya.
4. Percepatan gempa selama perambatan dari batuan dasar ke permukaan tanah sangat bervariasi. Pada permukaan tanah sampai kedalaman kira-kira 60 meter dari muka tanah percepatan gempanya berfluktuasi mulai dari 0,1 g sampai dengan 0,17 g. Pada kedalaman 60 sampai 310 meter di bawah muka tanah percepatan gempa relatif konstan dan pada kedalaman 310 meter di bawah muka tanah percepatan gempa mulai membesar.
5.2. Saran
Dalam kajian ini dapat disarankan beberapa hal sebagai berikut:
1. Mengingat tanah granular jenuh berpeluang besar terhadap bahaya likuifaksi bila terjadi gempa, maka usaha yang dapat dilakukan untuk mengurangi bencana akibat likuifaksi hanya sebatas pada memperbaiki kondisi tanah sehingga kerentanan terhadap likuifaksi dapat dihilangkan atau dikurangi.
2. Hal penting dalam evaluasi terhadap bahaya likuifaksi adalah evaluasi terhadap gangguan pada tanah yang mempercepat terjadinya likuifaksi. Ada beberapa kriteria yang dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam mengatasi bahaya likuifaksi. Persyaratan tersebut meliputi kriteria historis batuan, geologis, komposisi dan keadaan batuan.
UCAPAN TERIMA KASIH
Kajian ini merupakan bagian dari hasil penelitian Riset Unggulan Kemitraan “Perencanaan Rumah Tinggal Tahan Gempa dan Perbaikan Kerusakan Gedung akibat Gempa” Direktorat Teknologi Transportasi, BPPT. Terima kasih disampaikan kepada Dr. Pariatmono, peneliti utama dalam kegiatan ini yang terus menerus melakukan diskusi dan interaksi terhadap analisis pemodelan dan koreksi yang konstruktif.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Meterologi dan Geofisika, http://www.bmg.go.id/, Seismicity Map, 2003
Booker, E. W., dan Ireland, H. O. (1965). “Earth Pressure at Rest Related to Stress History,” Canadian Geotechnical Journal, Vol. 2, No. 1, hal. 1-15.
Borcherdt, R. D., (1994). “Estimates of Site-Dependent Response Spectra for Design (Methodology and Justification)”, Earthquake Spectra, Vol. 10, No. 4.
Casagrande, A. (1936). “Characteristics of Cohesionless Soils Affecting the Stability of Slopes and Earthfills,” Journal of the Boston Society of Civil Engineers, Najuari, Vol. 23, pp. 257-276.
Hardin, B. O., dan Richard, F. E., Jr. (1963). ”Elastic Wave Velocities in Granular Soils,” Journal of the Soil mechanics and Foundation Division, ASCE, Vol. 89, No. SM1, hal. 33-65.
Hardin, B. O., dan Black, W. L. (1968). “Vibration Modulus of Normally Consolidated Clays," Journal of the Soil mechanics and Foundation Division, ASCE, Vol. 94, No. SM2, hal. 353-369.
Gambar 7: Variasi Percepatan Gempa dari Batuan Dasar ke Permukaan Tanah
(1 ft = 0,31 m)
Gambar 8: Contoh Hasil Analisis Respon Spektra
Hardin, B. O., dan Drnevich, V. P. (1972). “Shear Modulus and Damping in Soils: Design Equations and Curves,” Journal of the Soil mechanics and Foundation Division, ASCE, Vol. 98, No. SM7, hal. 667-692.
Kanai, K. (1951). “Relation Between the Nature of Surface Layer and the Amplitude of Earthquake Motions,” Bulletin Tokyo Earthquake Research Institute.
Lysmer, J., Seed, H. B., dan Schanabel, P. B. (1972). SHAKE a Computer Program for Earthquake Respons Analysis Horizontally Layered Sites, EERC 72-12, University of California at Berkeley.
Peraturan Perencanaan Tahan Gempa Indonesia Untuk Gedung, (1983) Direktorat Penyelidikan Masalah Bangunan, Bandung, Indonesia.
Seed, H. B., Wong, R. T., Idriss, I. M., dan Tokimatsu, K. (1986). ”Modified and Damping Factors for Dynamic Analyses of Cohesive Soils,” Journal of Geotechnical Engineering, ASCE, Vol. 112, No. GT11, hal. 1016-1031.
SqiQuest NetLink, http://sciquest.enviroweb.org/, 2001
Structure Engineering Design Provision, (1997), ”Uniform Building Code (UBC97)”, Vol. 2, International Conference of Building Officials.
14 Mei 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar