13 September 2008

Bank Syariah Sebagai solusi

Bank Syariah Sebagai solusi

Yang Berkeadilan dan Berkerakyatan

oleh : A. Riawan Amin, Direktur Utama Bank Muamalat Indonesia

Pengantar

Krisis perekonomian yang melanda berbagai kawasan Asia, Eropa, Amerika Latin, bahkan Amerika Serikat, menyisakan pertanyaan besar, apakah sistim ekonomi yang berlangsung saat ini merupakan sistem satu–satunya yang mampu menjawab persoalan umat manusia? Apakah kapitalisme?, liberalisme yanmg mengusung gagasan pasar bebas, mekanisme pase uang berbasis interes dan usuary, serta dominasi mata uang sebagai komoditas yang diperjual belikan merupakan jawaban tunggal bagi ekonomi masyarakat dunia?

Apakah sosialisme sepenuhnya dapat menggantikan ? apakah umat manusia hanya dapat memilih salah satu dari keduanya? Mengapa cara lain yang sepatutnya digunakan dalam menyelesaikan pekerjaan rumah dalam tatanan ekonomi mikro maupun makro, yaitu sistim nilai dan kelembagaan yang berbasis ajaran agama, khususnya dalam Islam belum menyentuh banyak kalangan pemikir, pelaku pasar maupun tokoh-tokoh pemerintahan didunia?

Banyak jawaban dan spekulasi atas pertanyaan-pertanyaan ini. Namun, secara nyata jawaban-jawaban yang ditempuh untuk mengatasi krisis perekonomian justru semakin memperkuat peran lembaga-lembaga ekonomi kapitalis, melalu design kelembagaan pasar bebas, peran lembaga-lembaga multilateralistik seperti, World Bank, International Monetary Fund (IMF), WTO (world trande organisation), Asia Development Bank (ADB), dan para pelaku pasar dunia lain , yang saling terintegrasi menciptakan sistemnya sendiri, baik untuk kepentingan negara-negara yang mendominasi lembaga-lembaga tersebut, maupun kepentingan pelaku pasar yang telah menginvestasikan dananya melalui atau atas pengaruh lembaga-lembaga tersebut.

Adakah jalan dari institusi-institusi ekonomi kapitalistik ini terbukti benar? Fakta menunjukkan, bahwa hingga saat ini, baik kasus amerika Selatan (Argentina, Brasil, Mexsico, Peru, dan lainnya), Asia Tenggara (Indonesia,Thailand, Korea Selatan, Philipina), bahkan di Rusia yang mencoba mengadopsi pasar bebas Eropa Barat berbasis kapitalisme, kegagalan demi kegagalan masih terus berlangsung.

Kegagalan-kegagalan itu, secara tragis telah meningkatkan utang dan ketergantungan financial yang semakin besar dari negara yang mengalami krisis, serta berkurangnya asset-asset Negara tersebut karena beralih pemilikan untuk membayar utang dan memenuhi anggaran belanja masing-masing.

Dalam proses ini, salah satu instrumen penting yang digunakan adalah lembaga keuangan dan perbankkan. Mengingat lembaga inilah yang dapat menjadi media transaksi keuangan dengan berbagai portofolio produk maupun jasanya, termasuk instrumen-instrumen yang menfasilitasi utang antar negara maupun jual beli asset antar pelaku pasar dunia, serta transaksi antar mata uang, yang tidak sepenuhnya dapat menggerakkan perekonomian sector riil sebagai instumen untuk pemerataan kemakmuran umat manusia.

Mengapa banyak yang terlena dan tidak segera memperkuat sistim perekonomian dan perbankan Islam untuk meraih kembali ketertinggalan dan keterpurukan saat ini? istrumen negara maupun umat menusia dalam mengelola semberdayanya? Sebagai mungkin akibat kurang memahami, sebagian lagi karena mungkin belum cukup mengimani, sebagian lain mungkin tak peduli.

Ditengah keraguan atau mungkin ketidak fahaman, dan pengalaman yang ada, makalah pendek ini, ingin mengulas sedikit peristiwa dari pengalaman masa krisi perbankan nasional, dengan harapan semoga menambah energi dan inspirasi untuk mewujudkan sistim ekonomi ilahiah, dan mewujudkan kebenaran Islam sebagai sistem dan mekanisme universal bagi umat manusia, melalui perbankkan syariah.

I KRISIS EKONOMI DAN RESRTUKTURISASI PERBANKKAN DI INDONESIA

A. Krisis Perbankkan Nasional

Banyak pihak mencatat bahwa krisis ekonomi yang terjadi sejak medio 1997 di Indonesia memberikan danpak sangan luas yang mempengaruhi seluruh sendi –sendi perekonomian nasional. Pada tahun 1998, kinerja perekonomian yang tercinta dari indikator makro menunjukkan tanda-tanda kearah penurunan yang tajam, misalnya pertumnbuhan ekonomi menunjukkan kontraksi yang dalam, yaitu sebesar 13,2% dengan trend negative pada semua sektor ekonomi, sementara laju kenaikan harga-harga melonjak sangat tinggi hingga mencapai 77,6%. Pada sisi lain angka penggangguran dari jumlah penduduk miskin meningkat tajam sebagai akibat dari semakin banyaknya perusahaan yang mengurangi bahkan menghentikan produksinya.

Memburuknya situasi perekonomian Indonesia akibat kebijakan suku bunga tinggi dan depresiasi nilai tukar mata rupiah membawa akibat yang sangat buruk pada dunia perbankkan. Kontraksi output sector perbankkan pada tahun 1998 mancapai 35% atau sekitar 3 kali lebih parah dibanding sector lainnya. (lihat misalnya : restrukturisasi perbankkan di Indonesia: pengalaman bank BNI, Indef, Jakarta Juli 2003).

Dari berbagai catatan, setidaknya selama krisis, dunia perbankan nasional mengalami lima masalah sebagai berikut:

  1. Negatif spread. Masalah ini terjadi karena bank harus membayar biaya bunga kepada deposan (cast of fund) dengan suku bunga tinggi, sedangkan suku bunga pinjaman tidak bisa disesuaikan sepenuhnya.
  2. Likuiditas masalah likuiditas terutama dirasakan oleh bank swasta. Mobilitas dana masyarakat yang masuk-keluar perbankan menjadi sangat tinggi, dan sebagai akibatnya bank-bank terpaksa memerlukan suku bunga tinggi agar dana masyarakat dapat terhimpun. Masalah likuiditas terjadi akibat rush terhadap bank swasta, sementara bank-bank yang mengalami kelebihan likuiditas tidak mau menolong bank-bank lainnya. Nasabah cenderung mengalihkan dana ke bank-bank yang dianggap aman (flight to safety), terutama ke bank asing dan bank BUMN.
  3. NOP (net open position) terjadi fluktuasi nilai tukar yang tajam menyebabkan bank-bank devisa mengalami kesulitan dalam menglola asset dan kewajiban yang didominasi dalam mata uang asing. Implikasinya, setiap terjadi pergerakan dalam nilai rupiah, maka bank-bank mengalami kerugian valas (foreign exchange loss). Sebagai akibat mudahnya bank-bank memperoleh pinjaman luar negeri untuk memenuhi kebutuhan atau likuiditas valuta asingnya, yang ironisnya sebagian besar tidak dilakukan lindung nilai (hadging), pada saat terjadi gejolak nilai tukar kewajiban bank meningkat secara drastis.
  4. NPL (Non-Performing Loan). Masalah ini muncul sebagai akibat terjadinya kontrakso output disatu pihak dan meningkatnya beban utang perusahaan karena meningkatnya suku bunga di lain pihak, maka kemampuan perusahaan membayar kredit menjadi berkurang. Konsekuensinya, bank harus menaggung jumlah NPL yang lebih besar. Dengan demikian bank diharuskan menyediakan PPAP yang pada gilirannya memperberat posisi keuangan bank.
  5. permodalan (Capital). Beban negative spread, meningkatnya biaya pencadangan/PPAP karena meningkatnya NPL, penyelesaian utang luar negeri yang terkait dengan NOP, serta melonjaknya beban biaya overhead dan biaya operasional lainnya secara terakumulasi perlahan-lahan menggerogoti modal bank.

B. Kebijakan Restrukturisasi Perbangkan Nasional

Suatu sistem perbankan yang kuat merupakan hal mendasar bagi pertumbuhan dan perkembangan ekonomi suatu negara. Sistim keuangan yang efesian akan membantu suatu negara tumbuh, melalui upaya mobilisasi sumber daya keuangan dan pengalokasian penggunaannya secara tepat.

Untuk itu, sebagai upaya pemilihan perbankan nasional, pemerintah telah menempuh berbagai cara, di tengah alternative yang terbatas, bahkan disebut oleh banyak kalangan ahli sebagai solusi terbaik dari alternative-alternative penyelesaan yang buruk (the best choice from the worst solution). Stategi yang ditempuh oleh pemerintah antara lain infuse atau suntikan modal baru ke bank-bank yang lemah melalui program rekapitalisasi meggabungkan bank-bank yang lemah melalui program rekapitalisasi, menggabungkan, bank (merjer), serta menutup bank-bank yang tidak layak

Pertama, kategori A: Bank dengan CAR (Capital Adequacy Ratio -ratio Kecukupan modal) 4% keatas tidak diikutsertakan dalam program rekapitalisasi. Bank kategori ini hanya diwajibkan menyusun rencana bisnis. Dalam kategori ini terdapat 73 Bank. Termasuk diataranya Bank Muamalat Indonesia, sebagai satu-satunya bank syariah dimasa itu.

Kedua Kategori B: Bank CAR lebih kecil dari 4% sampai minus -25%, wajib ikut serta dalam progam rekapitalisasi. Batas CAR terbesar -25% untuk bank kategori B ini karena Bank dengan CAR lebih rendah memerlukan penyertaan modal pemerintah yang mendekati nasionalisasi. dalam kategori ini tredapat 30 Bank.

Ketiga, Kategori C: Bank dengan CAR lebih kecil dari minus 25% diberi waktu selama 30 hari untuk menambah modal atau memperbaiki kwalitas aktiva produktifnya sehingga mencapai CAR minus 25% atau masuk Bank kategori B, sehingga dapat ikut program rekapitalisasi. Apabila dalam batas waktu 30 hari bank tidak dapat memenuhinya, maka penyelesaian masalah bank akan di dikoordinasikan antara bank Indonesia dengan BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Basional). Dalam kategori ini terdapat 24 Bank.

Dalam perkembangannya, pada sector perbankan swasta, setelah banyak mempertimbangkan banyak hal, antara lain pertimbangan selain CAR, yaitu jaringan cabang yang luas dan dampak atas ekonomi terkait, maka dikeluarkan keputusan pemerintah, yaitu : 73 bank dipadang sehat dan dapat terus beroprasi, 8 bank diambil alih oleh BBPN, 8 Bank berada dalam program rekapitalisasi dan 38 Bank ditutup.

Sedangkan untuk perbankan BUMN dilakukan Merger dan privatisasi, dengan mempertimbangkan beberapa faktor. Khusus bank BUMN ini tidak ada kreteria CAR dan hanya pertimbangan ekonomi untuk 7 bank BUMN dan 27 BPD. Selain itu, langkah yang ditempuh adalah integrasi oprasi dan manegemen bank yang di marger, rekapitalisasi, resolusi atas kredit macet dan program prifatisasi. Hasilnya adalah: 4 bank BUMN besar dimerger, 12 BPD direkapitalisasi. Sedangkan perifatisasi ditempuh pasca merger dan hingga saat ini belum juga rampung.

C. Biaya Rekapitalisasi

Berdasarkan catatan INDEF dalam buku restruturisasi perbankan di Indonesia, Juli 2003, total dana yang dibutuhkan untuk menaggulagi biaya tahap awal rekapitalisasi mencapai jumlah sebesar Rp. 240 Triliun, yang ditanggulangi melalui Obligasi pemerintah. Estimasi biaya rekapitalisasi ini, antara lain Bank BUMN dan BPD: USD 12,50 Milyar, pengambil alih Bank: USD 12,00 Milyar, 8 Bank Kategori B: USD 3 Milyar, dan Bank Dilikuidasi : USD 2,35 Milyar. Sampai dengan akhir 2001, ternyata total obligasi rekapitalisasi yang telah diterbitkan membengkak sampai dengan Rp. 660 Triliun.

Obligasi ini terdiri dari 3 jenis, yaitu: Variable rate (jangka waktu 3-10 tahun, dengan tingkat suku bunga SBI tiga bulan): fixed rate (jangka waktu 5-10 tahun,dengan tingkat suku bunga 12%-14%), dan tingkat suku bunga yang dikaitkan dengan indeks harga konsumen atau CPI- linked rate (jangka waktu 20 tahun, dengan tingkat suku bunga 3 % di atas inflansi).

Banyak pihak berpendapat bahwa memang program ini dapat mengurangi resiko ekonomi. Namun banyak pihak memandang sebagai pemborosan dan menjadi beban rakyat yang harus dipenuhi melalui APBN setiap tahunnya.

D. fungsi Intermediasi Pasca Restrukturisasi-Loan to Deposit Ratio (LDR)

Meskipun program restrukturisasi sudah berlangsung selama 5 tahun ini, namun fungsi intermediasi perbankan nasional belum pulih. Hal itu dapat terlihat dari loan to deposit ratio (LDR) atau Ratio Kredit terhadap simpanan dari tahun 1998-2002.pada tahun 1998, rata-tara pemenuhan MDP perbankkan di Indonesia adalah sebesar 77,95 %. Nilai ini berada di bawah ketentuan Bank Indonesia yang sebesar 94,75%. Kemudian tahun 1999 terjadi penurunan yang lebih tajam, yaitu LDR rata-rata hanya 44,90% atau menurun 42,39%. Pada tahun 2000 rata-rata LDR naik sedikit menjadi 45,83%. Namun demikian tahun 2001 rata-rata LDR kembali menurun pada level 44,97%, pada akhir tahun 2002 rata-rata LDR yaitu 49,09%

No.

Indikator

1998

1999

2000

2001

2002

1

LDR (%)

77,95

44,90

45,83

44,97

49,09

2

Laju LDR (%)

n.a

-42,39

2,07

-1,88

9,16

3

Kredit (Loan) (Rp. Miliar)

487,426

277,300

320,600

358,600

410,300

4

Simpanan (Deposit) (Rp. Miliar)

572,524

625,616

720,319

809,126

845,015

5

Laju Kredit (%)

28,90

-43,11

15,54

11,92

14,42

6

Laju simpanan (%)

60,38

9,08

15,14

12,33

4,44

Dari data ini menunjukkan bahwa solusi pemerintah untuk menciptakan sistem perbankan nasional yang sehat, khususnya sebagai lemabaga intermediasi dalam menggerakkan sektor riil belum memperoleh hasil. Sebaliknya beban pemerintah yang harus membayar bunga dan cicilan obligasi setiap tahun terus meningkat dan menjadi beban APBN, yang juga beban rakyat dan para pembayar pajak nasional.

II. Perbankan Syariah Sebagai Solusi Berkeadilan dan Kerakyatan

A. Perspektif Ekonomi Islam

Islam merumuskan sistem ekonomi berbeda dari sistem ekonomi lain, karena memiliki akar dari syariah yang menjadi sumber dan panduan setiap muslim dalam menjalankan setiap kehidupannya. Dalam hal ini Islam memiliki tujuan-tujuan syariah (maqosid asy-syariah) serta petunjuk untuk mencapai maksud tersebut.

Dalam Al-Mustasyfa, Imam al-Ghazali mengemukakan bahwa tujuan utama syariah adalah meningkatkan kesejahteraan manusia yang terletak pada pemeliharaan 5 hal, yaitu: Imam (hifz al-iman), hidup, akal, keturunan dan harta benda (hifz al-maal). Segala tindakan yang berupaya meningkatkan kelima maksud tersebut merupakan upaya yang memang seharusnya dilakukan serta sesuai kemaslahatan umum.

Sebagai sebuah keyakinan yang bersifat rahmatan lil ‘alamin (universal), Islam mudah dan logis untuk difahami, serta dapat diterapkan, termasuk didalam kaidah-kaidah muamalahnya (tat hubungan sosial ekonomi). Dalam hal ini ekonomi Islam sebagai bagian kegiatan muamalah sesuai kaidah syariah, adapat diartikan sebagai ilmu ekonomi yang dilandasi ajaran-ajaran Islam yang bersumber dari al-Quran, as-Sunnah, Ijma’ (kesepakatan ulama) dan qias (analogi). Al-Quran dan as-Sunnah merupakan sumber utama, sedangkan ijma’ dan Qias merupakan pelengkap untuk memahami al-Quran dan as-Sunnah

Ekonomi Islam memiliki pandangan yang khusus terhadap uang sebagai alat tukar pembayaran dan itu pun dalam konteks terbatas. Uang tidak akan bernilai tanpa digunakan sebagai alat pembayaran. Oleh karena itu uang yang bertumpuk (idle) tidak sama dengan uang yang beredar. Jika kita menganggap uang yang disimpan memiliki nilai, berarti kita telah menyalahi fungsi uang sebenarnya. Menumpuk uang berarti menganggap bahwa harta itu kekal dan orang itu cenderung berbuat sewenang-wenang denganya. Hal inilah yang membuat orang terangsang untuk membungakan uang, karena merasa memiliki power (kekuasaan) terhadap pihak lainnya. Tindakan ini merupakan suatu bentuk eksploitasi suatu pihak terhadap pihak lainnya dan dapat dikategorikan sebagai kejahatan sosial.

Selain soal pandangan terhadap uang, Islam juga memandang bahwa salah satu upaya merealisasikan nilai-nilai ekonomi Islam secara nyata adalah dengan mendirikan lembaga-lembaga keuangan dan perbankkan yang sesuai kaedah syariat Islam. Dari berbagai jenis lembaga keuangan, perbankan merupakan sektor yang paling besar pengaruhnya dalam aktivitas ekonomi masyarakat modern.

Tujuan bank syariah secara umum adalah untuk mendorong dan mempercepat kemajuan ekonomi suatu masyarakat dengan melakukan kegiatan perbankan, financial, komersial dan infestasis sesuai kaidah syariah. Hal ini berbeda dengan bank konvensional yang tujuan utamanya adalah pencapaian keuangan yang setinggi-tingginya (profit maximization)

Sedangkan prinsip utama bank Islam terdiri dari larangan atas riba pada semua jenis transaksi. Menrut Badrad-Dien al-Ayni dalam kitab umdatul Qori, prinsip utama adalah penambahan dan menurut syriah riba berarti penambahan atas harta pokok tanpa adanya transaksi yang riil. Sedangkan menurut Imam Sarakhsi dalam kitab al-mabsut, riba adalah tambahan yang disyaratkan dalam transaksi bisnis dalam kitab al- Mabsut, Riba adalah tambahan yang disyaratkan dalam transaksi syariah atas penambahan tersebut.

Dalam pelaksanaan aktifitas bisnisnya, bank Islam dilakukan atas dasar kesetaraan, keadilan, dan keterbukaan, pembentukan kemitraan yang paling menguntungkan, serta laba yan diperoleh dari usaha yang halal. Hal pokok yang juga menjadi pembeda adalah kewajiban bank Islam untuk mengeluarkan dan mengadministraikan zakat guna mengembangkan lingkungan masyarakat (social conduct).

B. Perbankan syariah sebagai solusi

“allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”.

(QS. – Al Baqarah :257)

Makna dan Pemahaman

Bank menurut bahasa arab berasal dari kata “Mashrif yang artinya pertukaran (exchange), yaitu penjualan mata uang dengan mata uang yang lain. Kata mashrif sendiri merupakan istilah nama untuk suatu tempat. Namun demikian artinya dengan kata bank. Manurut bahasa Eropa (Itali, bank bersal dari kata “Banco” yang arinya bangku atau counter. Kata tersebut dipopulerkan karena segala aktifitas pertukaran uang orang-orang Itali menggunakan bangku atau counter. Meskipun demikian perkembangan perkembangan perbankan agak tersendat bahkan sampai zaman Eropean Renaissance.

Bank pertama yang sudah berdiri di Itali pada waktu itu adalah kota Venice tahun 1157, kemudian bank yang secara resmi menggunakan deposito adalah di Barcelona 1401.

Sebelum masa kenabian nabi Muhammad SAW, kota Mekkah merupakan kota pusat perdagangan dan para pedagang berdatangan dari segala penjuru bahkan dari luar kota Mekkah. Perjalanan para saudagar menuju pasar Mekkah dilakukan sekaligus ibadah haji (waktu itu masih menyembah berhala) sebagaimana yang digambarkan oleh Allah sebagai perjalanan kaum Quraiys yang aktif berdagang sesuai musim waktu itu, yaitu miusim panas dan musim dingin (QS. 106:1-2).

Karena sifat Muhammad yang jujur, adil dan dapat dipercaya, para penduduk Mekkan (kaum Quraisy dan para pedagang) sepakat untuk memberikan penghargaan kepada Muhammad dengan predikat al- Amin. Pemberian gelar ini belum pernah dialami oleh orang lain, sehingga Muhammadlah orang pertama dan yang terakhir mendapatkan gelar al-Amin.

Karena gelar yan diberikan al-Amin, maka banyak orang mendepositokan atau menitipkan hartanya yang berharga kepada nabi Muhammad SAW, dan beliau menunjuk Ali untuk mengembalikan seluruh harta yang diterimanya kepada pemilik masing-masing.

Dari sejarah diatas maka secara tidak langsung menunjuk bahwa penduduk Mekkah (pra Islam) telah mengetahui metode pengguanan harta (uang), yaitu pertama: menyerahkan harta kepada orang untuk diniagakan (commendan) dan mendapatkan pembagian keuntungan dari hasil peniagaan tersebut. Kedua, memberikan harta tersebut dengan atas dasar riba (usury).

Kemudian setelah Islam datang, maka segala prinsip-prinsip yang berlaku pada saat itu dan bertentangan dengan syariah harus diubah, dan semenjak itulah parasahabat mulai mengerti pentingnya aturan tersebut. Salah satu contoh adalah az-Zubair bin al Awwam, yaitu beliau adalah salah seorang yang dipercaya Rasul untuk sebagai tempat penyimpanan uang , namun Zubair menolak menerima uang simpanan tersebut. Zubair mensyaratkan bahwa dirinya mau menerima uang simpanan apabila uang tersebut bisa digunakan olehnya (diterima sebagai pemberian pembiayaan) bukan hanya sekedar tempat penyimpanan. Kemudian Zubair juga memberikan secure guarantee kepada setiap pemilik modal bahwa uang tersebut akan aman apabila tidak digunakan olehnya namun akan mengalami pengurangan atau kerugian apabila digunakan; begitu pula halnya apabila uang tersebut dijadikan sebagai modal pembiayaan maka dana tesebut dijamin oleh sipeminjam (bukan oleh Zubair).

Awal Perkembangan

Awal berdirinya bank Islam dimulai dinegri Mesir, dengan nama Mit Ghamr pada tahun 1963, kemudian untuk meningkatkan peranannya maka didirikan satu lagi pada tahun 1973 dengan nama Nasir Social Bank. Tak lama kemudian Arab Saudi turut mnegembangkan peranan bank Islam dan bagaimana pula mengalang dana-dana untuk membantui negara-negara Islam yang miskin, kerena itu berdirilah Islamic Development Bank, Jeddah pada tahun 1973. menyusul kemudian Dubai Islamic Bank, di kota Dubai 1975.

Untuk mengimbangi adanya bank dunia konvensional, maka berdirilah DMI (Darul Mal al-Islam), al Barkah, al Rajihi, dan Kuwait Finance House. Kelompok ini terus berkembang seiring dengan perkembangan zaman dan mengajak negara-negara lain untuk membuka bank Islam.

Secara ringkas, negara-negara yang sudah memili bank Islam adalah: Pakistan Bahrain, Kuwait, Dubai, Abud Dhabi, Saudi Arabia, Iraq, Qatar, Iran, Jordan, Palestia, Yaman, Libanon, Malaisya, Indoneisa, Bangladesh, Turki, Albania, Brunei, Mesir, Senegal, Sudan, Nigeria, Tunisia, Jibauti, Ghuinea, Mauritania.

Saat ini, bahkan dalam masa-masa mendatang, bank Islam bukan hanya didirikan dan dimiliki oleh negara atau kelompok muslim, tetapi juga perbankan Barat yang cukup besar ikut terlihat dalam pendirian bank Islam seperti: United Kindom, USA, Canada, Luxembourg, Switzerland, Denmark, Afrika Selatan, Australia, India, Sri Langka, Philipina, Cyprus, Bahmas, Virgin Islands, Cayman Islands. Setidaknya ada tiga lembaga keuangan Barat menginvestasikan dananya untuk pendirian lembaga keuangan Islam, Citibank (dari paman Sam) ABN Amro (Eropa) Dan ANZ dari Australia. Citibank mendirikan City Islamic Investmen Bank dan ABN mendirikan ABN Amro Global Islamic Financial Services di Bahrain.

Bank Anz mendirikan first ANZ International mudaraba, ltd, yang sasaran operasionalnya adalah kawasan timur tengah, Afrika Utara, dan Tasia. Ada juga bank-bank konvensional yang mempunyai unit tersendiri dan menggunakan konsep syariah seperti: Citibank, USA, ANZ (Australia dan New Zealand), ABN AMRO (Dutch), Goldman Sachs (United Kingdom), Kleinwort Benson (German), Hong Kong Shanghai Bank in UK, Saudi Amerika Bank (USA-Saudi), Saudi British Bank (UK- Saudi)

Perbedaan Perbankan Syariah dan Bank Konvensional

Menurut undang-undnag no. 7 tahun 1992 yang diubah menjadi undang-undang no. 10 tahun 1998 tentang perbankan yang dimaksud dengan perbankan adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang bank, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya (pasal 1 ayat 1). Kemudian dilanjutkan dengan ayat 2 menyatakan bahwa bank adalah bandan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan, dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.

Undang-undang nomor 10 tahun 1998 juga mempertegas eksistensi prinsip usaha bank berlandaskan syariah, yaitu dalam ayat 3 yang berbunyi “Bank umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran”.

Pengerahan dana dari masyarakat dan penyalurannya kembali pada masyarakat dalam bentuk kredit atau pembiayaan (financing) merupakan dua fungsi utama bank yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Dalam hal ini, fungsi pembiayaan (financing) tidak mungkin ada tanpa fungsi pengerahan dana atau investasi masyarakat melalui perbankan (syariah).

Berdasarkan kedua fungsi tersebut, nampak adanya dua hubungan hukum antara bank dan nasabah yaitu: pertama, hubungan hukum antara bank dan nasabah pembiayaan. Melalui perbankan syaraiah hubungan kedua pihak itu tidak saling dirugikan akan tetapi sama-sama mendapatkan manfaat yang lebih (laba) dan tidak didasarkan atas kezhaliman.

Hubungan antara bank syariah dengan nasabah sebagai pemilik sebagai rekening investasi tidaklah mencerminkan hubungan kreditor-debitor. Bank syariah tidak memberikan janji atau memastikan keuntungan diawal transaksi, tetapi keuntunganganya ditentukan sesuai sifat , jangka waktu investasi dan sesuai dengan hasil oprasional investasi sebagai objek, atau proses investasi yang dilakukan bank pada berbagai jenis pembiayaan, pengelola produk dan jasa-jasa lainnya.

Pada prinsipnya cara kerja bank syariah meliputi menerima dana dari masyarakat dan menyalurkan pada pihak yang memerlukan serta memberikan jasa-jasa keuangna pada masyarakat. Perbedaannya dengan bank konvensional adalah dalam bank syariah pendapatan dari penyimpan dana tidak didasarkan dalam bentuk prosentasi terhadap dana simpanan yang ditetapkan diawal (bunga), namun ditentukan dalam bentuk nisbah bagi hasil terhadap pendapatan bank yang akan didapatkan (bagi hasil). Konsekwensinya adalah nasabah penyimpan akan mendapatkan hasil dari dana yang disimpannya tergantung dari pendapatan yang diperoleh bank. Hal ini sangat berbeda dengan sistim perbankan konvensional, yang menjanjikan nasabah penyimpan akan mendapatkan bunga yang sudah ditetapkan diawal dan tidak secara langsung, berhubungan dengan besarnya pendapatan bank.

Dalam sistim perbankan konvensional, selain berperan sebagai jembatan antara pemilik dana dan dunia usaha, perbankan juga masih menjadi penyekat antara keduanya karena tidak adanya transferability risk dan.

Sedangka dalam sistim perbankana syari’ah bank syari’ah menjadi manajer investasi, wakil atau pemegang amanat (pengelola) dari pemilik dana (sebagai investor) atas investasi di sektor riil. Dengan demikian, seluruh keberhasilan dan resiko usaha secara langsung didistribusikan kepada pemilik dana sehingga menciptakan keseimbangan (hegemoni).

Dalam konteks makro, modus ini menghindarkan terjadinya gap antara sumber dana dengan investasi sehingga menciptakan landasan pertumbuhan yang kuat.

Hal-hal itu, mengingat skema produk perbankan syari’ah secara alamiah merujuk kepada dua kategori kegiatan ekonomi yakni produk dan distribusi. Pertama difasilitasi melalui skema profit sharing dan partnership, sedangkan kegiatan distribusi manfaat hasil-hasil produk dilakukan melalui skema jual-beli dan sewa menyewa. Berdasarkan nature tersebut maka kegiatan keuangan syari’ah dapat dikategorikan sebagai investment banking dan merchant/commercial banking.

Perbedaan-perbedaan pokok antara bank syariah dan bank konvensional:

No

Perbedaan

Bank Konvensional

Bank Syariah

1

Falsafah

Sisitim bunga (interest)

Sisitim bangi hasil (revenue/profit trist sharing)

2

Landasan hukum

Hanya perundang-undangan dan ketentuan bank

al-Quran dan hadist nabi muhammad SAW

3

Koridor bisnis

Memiliki aspek maysir, riba dan gharar

Anti maysir, riba dan gharar

4

Organisasi pengawasan

Tidak memiliki dewan pengawas syariah

Memiliki dewan pengawas syariah

5

Operasional

- Dana masyarakat yang harus dibayar bunganya pada saat jatuh tempo

- Penyaluran dana pada sektor yang menguntungkan, tanpa mempertimbangkan aspek halal –haram

- Dana masyarakat berupa titipan dan investasi yang akan mendapat hasil sesui hasil dikelola usaha.

- Penyalur hanya pada usaha yang halal, anti maysir, riba dan gharar, serta menguntungkan.

  1. Produk Perbankan Syariah

Secara umum produk-produk simpanan bank syari’ah menggunakan prinsip titipan (wadi’ah), yang diaplikasikan dalam produk “giro wadiah” dan prinsip investasi (mudharabah), yang diaplilkasikan dalam produk “tabungan dan deposito mudharabah”.

No

Prinsipil

Produk

Aplikasi

1

Titipan

(wadi’ah yadhomanah)

Giro dan tabungan

Nasabah menyimpan dana di bank, dengan akad bank dapat menggunakan dana tersebut, dengan syarat bank dapat menyediakan dana jika sewaktu-waktu nasabah mengambil dananya

2

Investasi umum

(mudharabah mutlaqoh)

Deposito dan tabungan

Nasabah menginvestasikan dananya kepada bank dengan nisbah bagi hasil dan jangka waktu ditetapkan diawal. Begi hasil akan dihitung berdasarkan nisbah yang disepakati, dihitung dari pendapatan bank yang akan didapat.

3

Investasi khusus

(mudharabah muqoyyadah)

Deposito/ dana khusus

Nasabah menginvestasikan dananya kepada bank dengan nisbah bagi hasil dan jangka waktu ditetapkan diawal untuk membiayai proyek tertentu sesuai dengan keinginan nasabah. Bagi hasil akan dihitung berdasarkan nisbah yang disepakati, dihitung dari pendapatan bank yang akan didapat dari proyek yang secara khusus dibiayai oleh deposito tersebut.

Untuk produk-produk jasa seperti transfer, kliring, inkaso, pembayaran rekening listrik, telefon dan lain-lain, menggunakan prinsip ujrah.

Sedangkan produk pembiayaan secara umum terbagi dalam dua prinsip, yaitu jual-beli termasuk sewa-beli dan pembiayaan dengan skema bagi hasil. Skema pembiayaan jual-beli terdiri dari murabahah, salam, istishna’ dan pembiayaan sewa beli yaitu ijarah muntahiyyah bi tamllik. Sedangkan pembiayaan dengan metode bagi hasil juga mempunyai dua produk yaitu musyarakah dan mudharabah termasuk mudharabah muqayyad (restricted investmen).

Metode, produk dan tujuan pengunaan pembiayaan bank syariah di sajikan berikut ini:

No

Metode Pembiayaan

Produk -Aplikasi pembiayaan

1

Jual beli

a. Murabahah - modal kerja seasonal/project atau investasi

b. Salam -modal kerja atau investasi terutama untuk produk-produk pertanian

c. Istisna’ -modal kerja atau investasi, terutama project dengan pembayaran per termin

2

Sewa beli

Ijarah - investasi (fixed asset)

3

Bagi hasil

a. Mudharabah - modal kerja atau investasi

b. Musyarakah modal kerja atau investasi

Secara prinsip mudharabah merupakan bagian dari musyarakah, dengan perbedaan sebagai berikut:

Kreteria

Mudharabah

Musyarakah

1. Prinsip dasar

- Sumber modal hanya berasal dari shohibul maal

- Kepercayan penuh (trusty financing)

- Sumber modal berasal dari shohibul maal dan mudharib.

- Adanya keterlibatan shahibul maal (joint financing)

2. Manajemen

Hanya pengusaha, pemilik modal tidak telibat

Dapat trelibat atas kesepakatan bersama

3.Penanggung kerugian

Pemilik modal

Bersama-sama

4. Jenis modal

Uang tunai

Uang dan harta benda dinilai dalam uang

C. Kinerja Perbankan Syari’ah

Bank syaria’ah pertama-tama dioperasikan di Indonesia adalah PT. bank Muamalat Indonesia Tbk, pada tanggal 1 Mei tahun 1992, 11 tahun lalu, atau empat tahun setelah paket deregulasi Oktober 1998 (pakto 88). Perkembangan perbankan syariah pada asalnya berjalan lebih lambat tahun 1998 hanya terdapat satu bank umum syaria dan 78 BPRS.

Kehadiran perbankkan syariah dalam sistim perbankan nasional bukanlah semata-mata mengakomodasi kepentingan penduduk Indonesia yang mayoritas muslim. Namun lebih kepada adanya faktor keunggulan atau manfaat lebih dari perbankan syariah dalam menjebatani kegiatan ekonomi dan lebih umum terhadap krisis. Seiring dengan itu, telah tumbuh sebuah kecenderungan spiritual yang mulai melihat mudharatnya sistim bunga (interes based banking), bersamaan dengan keyakinan yang semakin luas bahwa bunga bank adalah haram. Walaupun bagi sebagian kalangan masih dipandang subhat (ragu-ragu), mengingat alasan dharurat dan belum adanya keberanian majlis ulama Indonesia dalam memberikan fatwa haram atas bunga bank.

Pada awal operasinya, bank muamalat belum mendapat perhatian optimum dalam industri perbankan nasional. Landasan hukum operasinya sebagai bank syariah hanya dikategorikan sebagai “bank dengan sistim bagi hasil “, sebagai tercermin dalam UU No. 7/1992 yang meletakkan pembahasan perbankan bagi hasil hanya sepintas.

Namun demikian, meskipun sendirian peran yang ditempuh bank Muamalat Indonesia, telah meningkatkan kesadaran masyarakat, bahwa perbankan syariat telah menunjukkan keberadaan dan kebenarannya, serta teruji dalam krisis yang menimpa Indonesia. Ujian itu berhasil dilewati dan menempatkan bank Muamalat Indonesia pada progran restrukturisasi perbankan nasional pada tahun 1998 dalam kategori A (CAR di atas 4 %) sehingga tidak memerlukan bantuan suntikan modal pemerintah dan hanya harus menyampaikan bisnis plan, sebagai wajarnya. Hal ini terjadi karena beberapa hal, antara lain:

Pertama, beroprasi atas dasar prinsip syariah melalui bagi hasil, tidak beroprasi atas dasar bunga /riba, gharar, dan maisyir, dan karenanya tidak mempraktekkan pemberian bunga kepada deposan maupun penarikan bunga dari para pemimpin dana / nasabah pembiayaan.

Kedua, tidak mengalami negative spread. Hal ini terjadi karena bank muamalat tidak memberikan bunga, dalam hal ini bagi hasil lebih besar dari yang diperoleh, melainkan revenue sharing dari hasil usaha nyata atas penyaluran dana masyarakat kepada sector usaha yang dibiayai bank.

Ketiga, tidak mengambil posisi untuk melakukan spekulansi mata uang (gharar) sehingga tidak mengalami problem NOP (net Open Position). Dan keempat, bertumpu pada pemikan terhadap usaha kecil dan menegah (UKM) yang terbukti tangguh dan tahan dalam menghadapi krisis perekonomian nasional.

Pertumbuhan bank Muamalat sejak 1998 pun amat mengembirakan. Hal ini tanpak dari asset yang terus tumbuh, FDR (Financing to Deposit Ratio atau LDR) yang selalu lebih dari 80 % setiap tahunnya, dan laba yang terus meningkat, dari sisi Asset, dari tahun 1998 sehingga saat ini mengalami pertumbuhan rata-rata per tahun 48.31%. dari Rp. 446,9 Milyar pada akhir tahun 1998 menjadi Rp. 2.139 Triliun pada akhir tahun 2002.

Pembiayaan yang diberikanpun mengalami peningkatan rata-rata pertahun sebesar 60.33%. dari Rp. 318 Milyar pada akhir tahun 1998, menjadi 1.734 Triliun pada akhir 2002. begitupun dengan dana pihak ketiga meningkat rata-rata pertahun 44.79%, dari Rp. 319,9 Milyar pertahun pada akhir tahun 1998 menjadi Rp. 1.713 Triliun pada akhir 2002.

Bahkan dalam 2 tahun terakhir ini, Bank Muamalat Indonesia telah memperoleh berbagai penghargaan. Berdasarkan rating majalah Infobank 2003, bank Muamalat masuk sepuluh besar dengan predikatr “sangat bagus” dan menempati rangking ke-tujuh dalam kategori asset Rp. 1 Triliun-Rp 20 Triliun, serta termasuk dalam “sepuluh besar bank devisa terbaik di Indonesia, dengan predikat “sanngat bagus”. Penghargan lain adalah dari majalah Pilar Bisnis, yang menempatkan bank Muamalat Indonesia dalam “sepuluh bank devisa teraman di Indonesia”. Bank Muamalat pun telah menjadi bank syariah pertama yang melakukan emisi obligasi syariah sub-ordinasi pertama di Indonesia, senilai Rp. 200 Milyar, dengan tenor 7 tahun, dan bagi hasil 91:9, dengan rate indication berkisar setara dengan 17 %, sehingga berhasil menambah permodalan dan memperbaiki CAR-nya melalui obligasi syariah ini.

Problem yang dialami bank Muamalaht pada masa krisis, terjadi karena industri secara keseluruhan mengalami krisis, sehingga berimbas pada pendapatan bank. Dari keberhasilan bank Muamalat Indonesia melawati krisis ini, apalagi sejak UU perbankan No. 1 tahun 199, pertumbuhan bank syariah di Indonesia begitu penting dan signifikan.

Berdasarkan statistik perbankan syariah Mei 2003, dari bank Indonesia, jumlah bank Syariah di Indonesia, sampai akhir april 2003 tercatat, bank umum syariah baru 2, yaitu bank Muamalat dan bank Syariah Mandiri, 8 bank umum yang membuka unit atau kantor cabang syariah yaitu: bank IFI, BNI Syariah, BRI Syariah, Danamon Syariah, JABAR Syariah, Bukopin Syariahdan BII Syariuah serta 89 bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS). Beberapa bank konvensional dalam negri maupun asing yang beroprasi di Indonesia juga telah mengajukan izin dan menyiapkan diri untuk segera beroprasi, diantaranya bank Syariah Indonesia (BSI).

Sampai akhir Mei 2003, total asset perbankan syariah telah mencapai lebih dari Rp. 5,09 Triliun atau 0,46% dari total asset perbankan nasional. Sedangkan dana pihak ketiga (DPK) sampai April 2003 telah mencapai lebih Rp. 3,6 Triliun, yang terdiri dari Giro Wadiah Rp. 382,5 Miliar, Tabungan mudharabah Rp. 1,19 Triliun dan deposito mudharabah Rp. 2,03 Triliun.

Pada sisi penyaluran dana, komposisi penyaluran dana perbankan syariah (dalam jutaan rupiah), sampai Mei 2003, adalah sebagai berikut:

Rincian Pembiayaan Yang Diberikan

(Items of Financing)

Nilai (Rp)

Pangsa (%)

Dalam rangka pembiayaan bersama

(sindicated financing)

29.165

0.73

Dalam rangka restruturisasi pembiayaan

(Restructurized financing)

549

0.01

Penyaluran pembiayaan melalui lembaga lain

(Chanelling)

-

0.00

Pembiayaan musyarakah (musharakah financing)

5

2.05

Pembiayaan mudharabah (mudharabah financing)

562,888

14.07

Piutang murabahah (murabahah receivable)

2,874,676

71.84

Piutang salam (salam receivable)

-

0.00

Piutang istishna (istishna receivable)

240,708

6.02

Lainnya (others)

211,641

5.29

Total


100%

III. TANTANGAN DAN INISIATIF YANG PERLU DITEMPUH

I. Tantangan Yang Dihadapi

Peranan perbankan syariah dalam perekonomian relatif masih sangat kecil dibandingkan porsi perbankkan konvensional. Berdasarkan pengalaman dan catatan dalam Blueprint pengembangan perbankan syariah (blueprint 2002-2011) yang dikeluarkan bank Indonesia, Januari 2003, beberapa kendala pengembangan perbankan syariah selama ini adalah:

jaringan kantor bank syariah dan pangsa pasar yang masih terbatas

pemahaman masyarakat dan sosialisasi yang belum tepat mengenai produk, jasa dan kegiatan operasional bank syariah. Hal ini disebabkan antara lain oleh pandangan ulama MUI yang belum tegas mengenai bunga, yang kurangnya perhatian ulama atas kegiatan ekonomi di Indonesia. Padahal kalangan ulama international telah menyatakan, bahwa bunga bank sama dengan riba, dan riba hukumnya haram.

Sumber daya manusia profesional perbankan syariah masih terbatas.

Permodalan yang masih kecil

Belum konsisten antara pemahaman dengan pilihan perbankan syariah, misalnya banyak tokoh masyarakat Islam dan institusi Islam, rekeningnya diperbankan konvensional.

f. Ketentunan perundangan, peraturan-peraturan serta institusi pendukung yang belum lengkap dan efektif.

Persaingan dengan perbankan konvensional domestic maupun luar negri yang jor-joran dalam berpromosi.

Seiring dengan upaya bank Indonesia untuk memantapkan blueprint pengembangan perbankan syariah di Indonesia, sosialisasi perbankan syariah kedepan dan strategi pengembangan pengembangan syaraiah perlu diarahkan untuk meningkatkan pansa pasar (market share) perbankan syariah, meningkatkan kompetensi usaha dan level of playing field yang sejajar dengan sistim perbankan konvensional, serta memperkuat peranan perbankan syariah dalam memberikan solusi terbaik bagi perekonomian nasional.

Mengingat keunggulan perbankan syariah dan demand side (sisi kebutuhan) ready market dari mayoritas umat di Indoensia, dalam jangka panjang, untuk memenuhi kebutuhan tersebut, pada supply side (sisi penawaran) bukan tidak mungkin dilakukan kebijakan dan proses perubahan yang lebih fundamental dalam pengembangan bank syariah di Indonesia, antara lain dengan memberikan ruang seluas-luasnya kepada bank-bank konvensional untuk membuka layanan, termasuk melalui sistim windaw pada bank konvensional maupun konvensional maupun bank-bank konvensional besar menjadi bank syariah.

2. Inisiatif Ynag Perlu Ditempuh

Beberapa upaya yang perlu dilakukan pemerintah bersama para pelaku ekonomi syariah untuk merealisasikan hal tersebut ditempuh melalui beberapa langkah utama:

a. Memberi kemudahan pengembangan jaringan pelayanan dan pembukaan kantor-kantor bank syariah untuk memperluas jangkauan pasar dan memberikan pelayanan.

b. Mengupayakan peningkatan modal dan kemudahan dalam memperolah modal bagi bank syariah.

c. Melengkapi kerangka hukum dan penyempurnaan ketentuan perbankan syrariah. Dalam hal ini isu perlu tidaknya UU perbankan syariah harus segera dituntaskan oleh pemerintah, dalam hal ini bank Indonesai dan DPR.

d. Melengkapi istitusi pendukung yang lebih efektif, antara lain Auditor Syariah, Pasar Keungan Syariah International, Lembaga Penjaminan Pembiayaan Syariah, dan Badan Arbitrase Syariah.

e. Menyiapkanpusan informasi dan komunikasi keuangan syariah, yang berfungsi menghubungkan sector riil dengan sektor pembiayaan syariah.

f. Melanjutkan sosialisasi dan edukasi publik yang didukung olah bank Indonesia, para ulama diseluruh pelosok maupun melalui majelis ulama, asosiasi dan masyarakat, yang didukung anggaran bank Indonesia.

g. Menyiapkan special purpose company/vehicle (SPC/V), untuk membantu melakukan sekuritisasi asset bagi bank syariah yang ingin meningkatkan likuiditasnya (misalnya melalui asset backed securitisation-ABS).

h. Mendorong kekuatan bank syaraih local untuk menjadi pemain pasar global dan berdaya asing international.

IV. EPILOG

EKONOMI Islam dan perbanknan syariah merupakan solusi bagi peningkatan kemakmuran, kesejahteraan dan keadilan ekonomi di muka bumi, termasuk di Indonesia.

Merupakan kewajiban bagi umat Islam sebagai “khalifah” di muka bumi untuk meningkatkan kemakmuran, kesejahteraan dan keadilan melalui kegiatan muamalah (berekonomi dan berniaga) yang sesuai kaidah-kaidah syariat Islam.

Saat ini peran perbankan syariat masih sangat kecil ditengah ready market umat Islam Indonesia yang amat besar jumlahnya.

Banyak tantangan yang harus diselesaikan bersama oleh para pelaku, pemerintah dan masyarakat, termasuk keberanian ulama Indonesia untuk bersepakat dan mengeluarkan fatwa bahwa “bunga bank sama dengan riba dan karenanya haram hukumnya”

Para pelaku usaha masih harus diyakinkan bahwa bank syariah mampu memberikan manfaat ekonomi langsung secara praktis maupun spiritual yang menjamin kehalalan dan keberkahan, sehingga mampu memurnikan jiwa, razqi, hata dan keturunan dari kemungkinan yang haram maupun yang syubhat.

Tidak ada komentar: