IV. SISTEM MRP [Material Requirement Planning]
A. Pendahuluan
Dalam suatu industri, permintaan terhadap item-item produksi dapat dibedakan ke dalam dua tipe, yaitu:
1. Permintaan tidak tergantung (independent demand)
Bila permintaan terhadap item tersebut tidak dipengaruhi oleh permintaan terhadap item yang lain, permintaan hanya dipengaruhi oleh faktor pasar. Contoh: permintaan produk akhir atau produk jadi bersifat independen.
2. Permintaan tergantung (dependent demand)
Bila permintaan terhadap item tersebut dipengaruhi oleh permintaan terhadap item yang lain. Contoh: komponen setengah jadi dan barang jadi, atau dalam industri mobil, permintaan terhadap ban, jok dan komponen lainnya akan dipengaruhi oleh permintaan terhadap mobil.
Dalam struktur produk, produk jadi memiliki level tertinggi dan bahan baku memiliki level terendah. Komponen setengah jadi dipengaruhi oleh permintaan produk jadi. Pengaruh itu biasanya terhadap jumlah dan waktu. Pengaruh ini akan menyebabkan kondisi lumpy pada item-item yang permintaannya dependen. Pola lumpy digambarkan sebagai pola yang tidak teratur dan tidak kontinu, di mana sejumlah besar permintaan dibutuhkan pada suatu waktu dan sedikit atau tidak sama sekali pada waktu yang lain.
Dalam banyak kasus perusahaan tidak mau memproduksi bila jumlah permintaan dalam suatu perioda hanya satu unit. Karena pertimbangan ekonomis, ada suatu ukuran tertentu (lot size) sebagai satuan produksi. Di samping itu, banyak perusahaan membuat seluruh produknya tidak secara serentak, namun secara bergiliran. Kebijakan inilah yang akan menyebabkan permintaan terhadap komponen dan bahan baku berpola lumpy.
Gambar 13. Pola permintaan EOQ
Gambar 14. Pola Lumpy Pada Permintaan Komponen X
Contoh, 1 unit produk A memerlukan 3 komponen X. Lot size ekonomis produksi adalah sebanyak 50 unit atau kelipatannya. Sesuai permintaan konsumen akan diproduksi A sebanyak 100, 150, 200 dan 100 pada perioda 1, 3, 5, dan 7. Komponen X harus tersedia 300, 450, 600 dan 300 pada perioda 1, 3, 5 dan 7. Permintaan 1 unit produk A akan menyebabkan permintaan 3 unit pada komponen X. Kondisi yang terjadi seperti pada komponen X inilah yang disebut lumpy.
B. Definisi Sistem MRP
1. Sistem MRP adalah suatu prosedur logis berupa aturan atau keputusan dan teknik transaksi berbasis komputer yang dirancang untuk menerjemahkan jadwal induk produksi menjadi kebutuhan bersih untuk semua item.
2. Dikembangkan untuk membantu perusahaan manufaktur mengatasi kebutuhan akan item-item dependen secara baik dan efisien.
3. MRP dirancang untuk membuat pesanan-pesanan produksi dan pembelian untuk mengatur aliran bahan baku dan persediaan dalam proses sehingga sesuai dengan jadwal produksi untuk produk akhir. Hal ini memungkinkan perusahaan memelihara tingkat minimum dari item-item yang kebutuhannya dependen, tetapi tetap dapat menjamin terpenuhinya jadwal produksi untuk produk akhirnya.
4. Dikenal sebagai perencanaan kebutuhan bahan berdasarkan tahapan waktu (time phase requirement planning).
C. Tujuan Sistem MRP
1. Mampu menentukan kebutuhan pada saat yang tepat.
2. Menentukan kebutuhan minimal setiap item.
3. Menentukan pelaksanaan rencana pemesanan.
4. Menentukan penjadwalan ulang atau pembatalan atas suatu jadwal yang sudah direncanakan.
D. Input Untuk Sistem MRP :
1. Master Schedule (Jadwal Induk Produksi)
Dibuat berdasarkan permintaan (yang diperoleh dari pesanan atau peramalan) terhadap semua produk jadi yang akan dibuat. Hasil peramalan (sebagai perencanaan jangka panjang) dipakai untuk membuat rencana produksi agregat (sebagai perencanaan jangka menengah) yang pada akhirnya dibuat jadwal induk produksi (rencana jangka pendek) yaitu menentukan jumlah produksi yang dibutuhkan untuk setiap produk akhir beserta perioda waktunya untuk suatu jangka perencanaan.
Tabel 8. Comtoh Jadwal Induk Produksi
Jenis Produk Perioda
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Produk A 70 67 65 60 63 67 65 60 64 65
Produk B 56 60 57 45 50 55 57 50 56 50
Produk C 80 80 75 65 80 90 100 75 75 80
2. Catatan keadaan persediaan
Menggambarkan status item yang ada dalam persediaan. Setiap item persediaan harus didefinisikan untuk menjaga kekeliruan perencanaan. Catatnan persediaan ini harus tetap dijaga up to date, dengan selalu melakukan pencatatan pada setiap transaksi yang terjadi, yaitu penerimaan, pengeluaran, produk gagal, dan lain-lain. Catatn persediaan juga berisi data tentang lead time, teknik ukuran lot yang digunakan, persediaan pengaman, dan catatan-catan penting lainnya.
Jenis persediaan dalam MRP:
a. Quantity on hand (jumlah yang ada di tangan atau yang dimiliki )
b. Quantity on order (jumlah yang akan diperoleh dari suatu pesanan sebelumnya, atau dari suatu proses pembuatan ).
3. Struktur produk
Berisi informasi tentang hubungan antara komponen-komponen dalam suatu perakitan. Informasi ini sangat penting dalam penentuan kebutuhan kotor dan kebutuhan bersih. Struktur produk juga memberikan informasi tentang item, seperti nomor item, jumlah yang dibutuhkan dalam setiap perakitan dan berapa jumlah produk akhir yang harus dibuat.
E. Output Sistem MRP
Output system MRP adalah berupa rencana pemesanan atau rencana produksi yang dibuat berdasarkan atas dasar lead time.
Lead Time :
Waktu yang dibutuhkan mulai saat pesanan item dilakukan sampai item tersebut diterima dan siap dipakai, baik item tersebut dipesan dari luar maupun dibuat dalam pabrik sendiri.
1. Memberikan catatan tentang pesanan penjadwalan yang harus dilakukan/ direncanakan baik dari pabrik sendiri atau dari suplier.
2. Memberikan indikasi untuk penjadwalan ulang.
3. Memberikan indikasi untuk pembatalan atas pesanan.
4. Memberikan indikasi untuk keadaan persediaan.
F. Prinsip Dasar Sistem MRP
1. Time Phasing
Penambahan dimensi waktu dalam status data persediaan, yaitu dengan penambahan serta perekaman informasi pada tanggal yang spesifik dari perioda perencanaan serta dikaitkan dengan jumlahnya.
Teknik dari Time Phasing adalah membuat suatu hubungan yang relevan antara jumlah kebutuhan dengan waktu/ jadwal perencanaan.
Pendekatan :
a. Pendekatan Tanggal atau Jumlah “Date/ Quantity“( lebih diperlihatkan jumlah kebutuhan pada suatu perioda waktu).
Tabel 9. Contoh pendekatan date/quantity
Kebutuhan Bersih Perioda (hari)
60 130
90 141
20 155
50 160
80 165
80 170
b. Pendekatan Paket Waktu atau “Time-Bucket“ (lebih diperlihatkan akan perioda waktu kemudian dihubungkan dengan jumlah kebutuhan).
Tabel 10. Contoh pendekatan Time-Bucket
Perioda Waktu 1 2 3 4 5 6
Kebutuhan Bersih 40 0 90 0 0 40
2. Status Persediaan : Jumlah persediaan dari setiap item.
Status persediaan diperlukan untuk mengetahui:
a. Item apa yang dimiliki
b. Item apa yang diperlukan
c. Apa yang harus dilkukan
Filosofi :
A + B - C = X
di mana :
A = Jumlah persediaan yang dimiliki saat ini
B = Jumlah yang sedang dipesan
C = Jumlah kebutuhan kotor
X = Jumlah yang tersedia (sisa persediaan)
Tabel 11. Contoh perhitungan persediaan
Perioda Waktu 1 2 3 4 5 6
Persediaan di tangan 40
Penerimaan dari pesanan 0 0 0 0 30 0
Jumlah kebutuhan 0 20 0 35 0 30
Yang tersedia 40 20 20 -15 15 -15
Tanda negatif menunjukkan bahwa terjadi kekurangan persediaan sehingga pesanan baru harus dilakukan.
G. Syarat- Syarat Pendahuluan dari MRP
1. Ada dan tersedianya Jadwal Induk Produksi (Master Schedule), di mana terdapat jadwal rencana dan jumlah pesanan dari item/ produk.
2. Item persediaan mempunyai identifikasi khusus.
3. Tersedianya struktur produk pada saat perencanaan.
4. Tersedianya catatan tentang persediaan untuk semua item, yang menyatakan keadaan persediaan sekarang dan yang akan datang/ direncanakan.
H. Asumsi-Asumsi
1. Adanya data file yang terintegrasi.
2. Waktu ancang (Lead Time) untuk semua item diketahui.
3. Setiap item persediaan selalu ada dalam pengendalian.
4. Semua komponen untuk untuk suatu perakitan dapat disediakan pada saat perakitan akan dilakukan.
5. Pengadaan dan pemakaian komponen bersifat diskrit.
I. Langkah-Langkah Dasar Proses Pengolahan MRP
1. Netting : Perhitungan kebutuhan bersih.
Data yang diperlukan:
a. Kebutuhan kotor untuk setiap perioda
b. Persediaan yang dipunyai pada awal perencanaan
c. Rencana penerimaan untuk setiap perioda perencanaan
NRi = GRi – SRi – OHi dengan NR = 0 bila GR – SR – OH < 0
Dimana:
NRi = Kebutuhan Bersih (Net Requirement/ NR) pada perioda ke i
GRi = Kebutuhan Kotor (Gross Requirement/ GR) pada perioda ke i
SRi = Jadwal penerimaan (Schedulling Receipt/ SR) pada perioda ke i
OHi = Persediaan di tangan (On Hand Inventory/ OH) pada perioda ke i
Contoh:
Tabel 12. Status Data Kebutuhan Sebelum Perhitungan Kebutuhan Bersih
Perioda 1 2 3 4 5 6 7 8 Total
Kebutuhan Kotor 25 30 20 15 90
Jadwal Penerimaan 40
Persediaan Di Tangan 25
Tabel 13. Perhitungan Kebutuhan Kotor
Perioda GRi SRi OHi GRi – SRi - OHi NRi
1 0 0 25 - 25 0
2 25 0 25 0 0
3 0 40 0 - 40 0
4 30 0 40 - 10 0
5 0 0 10 - 10 0
6 20 0 10 10 10
7 15 0 0 15 15
8 0 0 0 0 0
Jumlah 90
Tabel 14. Hasil keseluruhan perhitungan kebutuhan bersih
Perioda 1 2 3 4 5 6 7 8 Total
Kebutuhan Kotor 25 30 20 15 90
Jadwal Penerimaan 40
Persediaan Di Tangan 25 25 25 0 40 10 10 0 0
Kebutuhan Bersih 0 0 0 0 0 0 10 15 0 25
Perhitungan Kebutuhan Bersih Dengan Persediaan Pengaman
Tabel 8 adalah perhitungan kebutuhan bersih di mana dimasukkan pengadaan persediaan pengaman. Misalkan, persediaan pengaman = 5. Artinya pada setiap akhir perioda, jumlah persediaan di tangan (Ohi) minimal = 5 atau lebih, tidak boleh = 0. Pada perioda 2 sebenarnya persediaan sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan kotor, tetapi karena nantinya di akhir perioda 2 persediaan = 0, maka harus diproduksi minimal = 5 (untuk kebijakan sediaan pengaman minimal 5). Perhitungan selengkapnya ditunjukkan pada tabel berikut:
Tabel 15. Perhitungan kebutuhan bersih dengan kebijakan persediaan pengaman
Perioda 1 2 3 4 5 6 7 8 Total
Kebutuhan Kotor 25 30 20 15 90
Jadwal Penerimaan 40
Persediaan Di Tangan 25 25 5 45 15 15 5 5 5
Kebutuhan Bersih 10 20 5 40
2. Lotting : Penentuan besarnya lot.
Lotting adalah suatu proses untuk menentukan besarnya jumlah pesanan optimal untuk setiap item secara individual didasarkan pada hasil perhitungan kebutuhan bersih yang telah dilakukan. Ada banyak alternative metoda untuk menentukan ukuran lot. Beberapa teknik diarahkan untuk meminimalkan total ongkos set-up dan ongkos simpan. Teknik-teknik tersebut adalah teknik lot for lot, economic order quantity, fix order quantity dan fix period review, dan lain-lain. Pembahasan mengenai teknik-teknik tersebut akan diberikan pada bab berikutnya.
Tabel berikut adalah suatu contoh lotting untuk menentukan besarnya jumlah jumlah pemesanan.
Tabel 16. Contoh Proses Lotting
Perioda 1 2 3 4 5 6 7 8 Total
Kebutuhan Bersih 10 15 25
Ukuran Lot 10 15 25
3. Offseting : Penetapan besarnya waktu “Lead Time”
Langkah ini bertujuan untuk menentukan saat yang tepat untuk melakukan rencana pemesanan dalam rangka memenuhi kebutuhan bersih. Rencana pemesanan diperoleh dengan cara mengurangkan saat awal tersedianya ukuran lot yang diinginkan dengan besarnya lead time. Tabel berikut ini memberikan contoh proses offeting dengan lead time sebesar dua perioda.
Tabel 17. Contoh Proses Offseting
Perioda 1 2 3 4 5 6 7 8 Total
Ukuran Lot 10 15 25
Rencana Pemesanan 10 15 25
4. Explosion : Perhitungan selanjutnya untuk level item di bawahnya.
Proses explosion adalah proses penghitungan kebutuhan kotor untuk tingkat item/ komponen yang lebih bawah. Perhitungan kebutuhan kotor ini didasarkan pada rencana pemesanan item-item produk pada level yang lebih atas. Untuk penghitungan kebutuhan kotor ini, diperlukan struktur produk dan informasi mengenai berapa jumlah kebutuhan tiap item untuk item yang akan dihitung.
Dalam proses explosion ini data mengenai struktur produk harus tersedia secara akurat. Ketidak akuratan data struktur produk akan mengakibatkan keslahan pada perhitungan. Atas dasar struktur produk inilah proses explosion dibuat. Dengan data struktur produk dapat ditentukan ke arah komponen mana harus dilakukan explosion. Struktur produk juga harus langsung dimodifikasi bila ada perubahan pada cara produksi atau perakitan.
Tabel 18. Hubungan antara induk dan komponen
Induk
Perioda 1 2 3 4 5 6 7 8
Rencana Pemesanan 40 55
Komponen
Perioda 1 2 3 4 5 6 7 8
Kebutuhan Kotor 40 55
Misalkan struktur produknya sebagai berikut:
Gambar 15. Contoh struktur produk
Ukuran pemesanan A, B dan C dihitung berdasar model EOQ adalah sama sebesar 50 unit dan sediaan pengaman atau safety stock (SS) B dan C adalah 20 unit, maka proses explosion-nya adalah seperti pada tabel berikut.
Item A Level 0
Lot = 50 SS = 20
Perioda 1 2 3 4
Kebutuhan Kotor 40 60 40 60
Sediaan Awal 100 60 0 10
Sediaan Akhir 100 60 0 10 0
Kebutuhan Bersih 0 0 40 50
Jumlah Pesan 0 0 50 50
Rencana Pesan 0 0 50 50 0
Item B Level 1
Lot = 50 SS = 20
Perioda 1 2 3 4
Kebutuhan Kotor 0 50 50 0
Sediaan Awal 70 70 20 20
Sediaan Akhir 70 70 20 20 20
Kebutuhan Bersih 0 0 30 0
Jumlah Pesan 0 0 50 0
Rencana Pesan 0 50 0 0
Item B Level 1
Lot = 50 SS = 20
Perioda 1 2 3 4
Kebutuhan Kotor 0 100 0 0
Sediaan Awal 20 20 20 20
Sediaan Akhir 20 20 20 20 20
Kebutuhan Bersih 0 80 0 0
Jumlah Pesan 0 100 0 0
Rencana Pesan 0 100
Gambar 16. Contoh proses explosion
Kebutuhan kotor item C ditentukan oleh rencana pesan item B. Kebutuhan kotor item B ditentukan oleh rencana pesan item A. Setelah dilakukan proses netting, lotting, dan offseting pada item A sesuai struktur produk maka proses explosion dilakukan pada item B. Kebutuhan kotor item adalah sama dengan rencana pesan item A karena menurut struktur produk, i unit A memerlukan 1 unit B. Setelah selesai dilakukan netting, lotting, struktur produk, 1 unit A memerlukan 1 unit B. Setelah selesai dilakukan netting, lotting, dan offsetting pada item B selanjutnya explosion ditujukan pada item C (sesuai struktur produk). Kebutuhan kotor item adalah sebesar 2 kali rencana pesan item B. Hal ini disesuaikan dengan struktur di mana satu unit item B. Hal ini disesuaikan dengan struktur produk di mana satu unit item B memerlukan 2 unit item C.
I. Faktor Penyebab Kesulitan Dalam Sistem MRP
1. Struktur produk
Struktur produk merupakan sesuatu yang mutlak harus ada untuk dapat diterapkan sistem MRP. Struktur produk yang rumit dan banyak level-nya akan membuat perhitungan semakin kompleks terutama dalam proses explosion.
Struktur produk dengan jumlah level yang besar akan membuat proses MRP (proses netting, lotting, offseting, dan explosion) yang berulang-ulang dilakukan satu per satu dari atas ke bawah level demi level dan perioda demi perioda. Pada proses lotting, penentuan ukuran lot pada level yang paling bawah membnutuhkan teknik-teknik yang sangat sulit (multi level lot size technique). Sehingga dengan semakin kompleksnya struktur produk akan membuat perhitungan proses MRP semakin rumit.
Bila struktur produk tidak berubah-ubah, kesulitan ini hanya terjadi sekali saja, yaitu di awal pembuatan sistem MRP (jika dengan program komputer). Jika struktur produk berubah, maka sistem yang telah dibuat harus dimodifikasi.
2. Ukuran lot
Berdasarkan tingkatannya, teknik penentuan lot dapat dikategorikan sebagai berikut:
a. Teknik ukuran lot untuk satu tingkat dengan kapasitas tak terbatas
b. Teknik ukuran lot untuk satu tingkat dengan kapasitas terbatas
c. Teknik ukuran lot untuk banyak tingkat dengan kapasitas tak terbatas
d. Teknik ukuran lot untuk banyak tingkat dengan kapasitas terbatas
a.Teknik ukuran lot untuk satu tingkat dengan kapasitas tak terbatas dapat diklasifikasikan ke dalam empat cara sebagai berikut:
(1) Fixed Order Quantity (FOQ)
(2) Lot – For – Lot [L – 4 – L]
(3) Fixed Period Requirement [FPR]
(4) Economic Order Quantity [EOQ]
Teknik ukuran lot FOQ dan EOQ berorientasi pada tingkat kebutuhan [demand rate], sedangkan teknik ukuran lot FPR dan L-4-L merupakan teknik ukuran lot diskrit karena hanya memenuhi permintaan sesuai dengan yang telah direncanakan dalam perioda tertentu. Ukuran lot diskrit tidak akan menghasilkan sisa jumlah komponen karena Teknik tersebut hanya memenuhi permintaan dengan jumlah yang sama seperti telah direncanakan. Kelemahan dari teknik ukuran lot diskrit ini adalah bila di masa yang akan datang [perioda mendatang] terjadi lonjakan permintaan, maka harus dilakukan perhitungan ulang.
Teknik penentuan ukuran lot mana yang paling baik dan tepat bagi suatu perusahaan adalah persoalan yang sangat sulit, karena sangat tergantung pada hal-hal sebagai berikut:
(1) Variasi dari kebutuhan, baik dari segi jumlah maupun periodanya
(2) Rentang waktu perencanaan
(3) Ukuran periodanya (mingguan, bulanan dan sebagainya)
(4) Perbandingan biaya pesan dan biaya simpan.
b. Teknik ukuran lot untuk satu tingkat dengan kapasitas terbatas
(1) Fixed Order Quantity [FOQ]
Dalam metoda FOQ ukuran lot ditentukan secara subjektif. Berapa besarnya dapat ditentukan berdasarkan pengalaman produksi atau intuisi. Tidak ada teknik yang dapat dikemukakan untuk menentukan besarnya ukuran lot ini. Kapasitas produksi selama lead time produksi dalam hal ini dapat digunakan sebagai sebagai dasar untuk menentukan besarnya lot. Sekali ukuran lot ditetapkan, maka lot ini akan digunakan untuk seluruh perioda selanjutnya dalam perencanaan. Berapa pun kebutuhan bersihnya, rencana pesan akan tetap sebesar lot yang telah ditentukan tersebut. Metoda ini dapat ditempuh untuk item-item yang biaya pemesanannya (ordering cost) sangat mahal.
Contoh, ukuran lot produksi secara intuitif telah ditentukan sebesar 100 unit, kemudian pemesanan dilakukan apabila jumlah kebutuhan bersih untuk beberapa perioda yang akan datang mendekati 100.
Salah satu ciri dari metoda FOQ ini adalah ukuran lot-nya selalu tetap, tetapi perioda pemesannya yang selalu berubah.
Tabel 19. Penetapan ukuran Lot dengan FOQ
Perioda 1 2 3 4 5 6 7 8
Kebutuhan Bersih 20 50 60 80 40 40 40 60
Jumlah Pesan 100 100 100 100
Sediaan 80 30 70 90 50 10 70 10
(2) Economic Order Quantity [EOQ]
Penentuan lot berdasarkan biaya pesan dan biaya simpan, dengan formula seperti berikut:
EOQ = 75 unit
Di mana :
A = Order Cost
D = Demand rata-rata per horizon
H = Holding Cost
Contoh:
Diketahui:
A = Rp. 21.500
D = 400 unit
H = Rp. 3000 per perioda
Maka EOQ =
EOQ = 75 unit
Tabel 20. Penetapan ukuran lot dengan EOQ
Perioda 1 2 3 4 5 6 7 8
Kebutuhan Bersih 20 50 60 80 40 40 40 60
Jumlah Pesan 75 75 75 75 75 75
Sediaan 55 5 20 15 50 10 45 60
Biaya simpan = [55 + 5 + 20 + 15 + 50 + 10 + 45 + 60] x Rp. 3.000 = Rp. 780.000
Biaya pesan = 6 x Rp. 21.500 = Rp. 129.000
Biaya Total = Rp. 909.000
Metoda EOQ ini biasanya dipakai untuk horizon perencanaan selama satu tahun sebesar 12 bulan. Metoda EOQ baik digunakan bila semua data konstan dan perbandingan biaya pesan sangat besar.
(3) Lot – For – Lot [L-4-L]
Teknik penetapan ukuran lot didasarkan atas dasar pesanan diskrit. Di samping itu, teknik ini merupakan cara paling sederhana dari semua teknik ukuran lot yang ada. Teknik ini selalu melakukan perhitungan kembali (bersifat dinamis) terutama apabila terjadi perubahan pada kebutuhan bersih. Penggunaan teknik ini bertujuan untuk meminimumkan ongkos simpan, sehingga dengan teknik ini ongkos simpan menjadi nol. Oleh karena itu, sering sekali digunakan untuk item-item yang mempunyai biaya simpan per unit sangat mahal. Apabila dilihat dari pola kebutuhan yang mempunyai sifat diskontinu atau tidak teratur, maka teknik L-4-L ini memiliki kekampuan yang baik. Di samping itu, teknik ini sering digunakan pada sistem produksi manufaktur yang mempunyai sifat set-up permanen pada proses produksinya.
Tabel 21. Penetapan ukuran lot dengan EOQ
Perioda 1 2 3 4 5 6 7 8
Kebutuhan Bersih 20 50 60 80 40 40 40 60
Jumlah Pesan 20 50 60 80 40 40 40 60
Sediaan 0 0 0 0 0 0 0 0
Biaya simpan = 0 x Rp. 3.000 = Rp. 0
Biaya pesan = 8 x Rp. 21.500 = Rp. 168.000
Biaya Total = Rp. 168.000
(4) Fixed Period Requirement [FPR]
Penentuan ukuran lot didasarkan pada perioda waktu tertentu saja. Besarnya jumlah kebutuhan tidak berdasarkan ramalan, tetapi dengan cara menjumlahkan kebutuhan bersih pada perioda yang akan datang.
Bila dalam metoda FOQ besarnya jumlah ukuran lot adalah tetap sementara selang waktu antar pemesanan tidak tetap. Dalam metoda FPR ini selang waktu antar pemesanan dibuat tetap dengan ukuran lot sesuai pada kebutuhan bersih.
Untuk contoh yang sama, misalkan ditentukan perioda pemesanan adalah setiap 2 perioda (ditentukan secara intuitif). Hasil perhitungannnya adalah:
Tabel 22. Penetapan ukuran lot dengan FPR
Perioda 1 2 3 4 5 6 7 8
Kebutuhan Bersih 20 50 60 80 40 40 40 60
Jumlah Pesan 70 140 80 100
Sediaan 50 0 80 0 40 0 60 0
Biaya simpan = 230 x Rp. 3.000 = Rp. 690.000
Biaya pesan = 4 x Rp. 21.500 = Rp. 86.000
Biaya Total = Rp. 776.000
3. Lead time yang berbeda-beda
Salah satu data yang erat kaitannya dengan waktu adalah lead time, di mana lead time akan mempengaruhi proses offseting. Suatu perakitan tidak dapat dilakukan apabila komponen-komponen [embentuknya belum siap tersedia. Kompleksnya masalah akan dirasakan pada tahap penentuan ukuran lot di setiap tingkat produksi. Dalam kaitannya dengan hal ini, persoalannya bukan hanya menentukan besarnya lot, tetapi juga harus memperhatikan persoalan ketergantungan tersebut. Lead time produksi juga akan tergantung pada berapa banyak jumlah yang diproduksi. Pada metoda FOQ dan EOQ pesanan bisa berbeda, misalnya rencana pesanan 20 akan memiliki lead time lebih singkat daripada rencana pesan sebesar 200 unit.
4. Perubahan kebutuhan terhadap produk akhir dalam horizon perencanaan
Sistem MRP dirancang untuk menjadi system yang fleksibel terhadap perubahan-perubahan, baik perubahan dari luar (permintaan) maupun dari dalam (kapasitas). Fleksibilitas ini bukannya tidak menimbulkan masalah. Perubahan kebutuhan akan produk akhir tidak hanya berpengaruh pada penentuan rencana pemesanan (timing) namun mempengaruhi pula penentuan jumlah kebutuhan yang diinginkan. Sebagai contoh, ada struktur produk sebagai berikut:
Dengan persediaan awal = 15
Dengan persediaan awal = 25
Misalnya ada dua macam kebutuhan kotor A (dianggap sebagai perubahan lebutuhan pada 2 perioda perencanaan:
Tabel 23. Data kebutuhan kotor komponen A untuk 2 kasus
Kasus Kasus I Kasus II
Perioda Waktu 1 2 1 2
Kebutuhan Kotor 15 75 75 15
Tabel 24. Contoh perhitungan akibat perubahan kebutuhan
Kasus Kasus I Kasus II
Perioda Waktu 1 2 1 2
Komponen A
Kebutuhan Kotor 15 75 75 15
Persediaan 15 0 15 25
Kebutuhan Bersih 0 75 60 10
Komponen B
Kebutuhan Kotor 10 75 60 10
Persediaan 25 15 25 0
Kebutuhan Bersih 0 [15] 60 35 10
Dari contoh terlihat bahwak kebutuhan bersih komponen B untuk kasus I berbeda dengan kasus II. Jika dihubungkan dengan lead time, perbedaan besarnya lot di suatu perioda akan mempengaruhi jadwal pemesanan. Maka dapat dibayangkan apa yang terjadi apabila perubahan-perubahan ini dalam harian,. Proses perhitungan kembali harus dilakukan setiap hari, sehingga perhitungan menjadi tidak efisien.
5. Komponen-komponen yang bersifat umum (commonality)
Komponen umum berarti komponen tersebut dibutuhkan oleh lebih dari satu induk item-nya. Komponen umum ini akan menimbulkan kesulitan pada proses netting dan lotting (khususnya untuk lotting dalam kasus multi level). Proses lotting untuk komponen ini diperoleh dari semua induknya dengan terlebih dahulu menentukan rencana kebutuhan (waktu dan jumlah).
Kesulitan pada komponen umu akan terjadi apabila komponen umum tersebut ada pada level yang berbeda, baik dalam satu struktur produk yang sama maupun struktur yang berbeda. Contoh komponen umum digambarkan sebagai berikut:
Gambar 17. Komponen umum pada level yang berbeda [komponen A = komponen umum]
Perioda Perioda
1 2 3 4 5 6 1 2 3 4 5 6
25 15 20 20
1 2 3 4 5 6
25 15
Gambar 18. Kebutuhan kotor komponen A
13 Mei 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar