Makanan Tercemar Lebih Berisiko Bagi Balita
Dengan semakin meningkatnya kegiatan yang berpotensi menimbulkan pencemaran, seperti industri dan transportasi maka, suka tidak suka, jenis bahan beracun tersebar di lingkungan juga semakin beragam dengan kadar yang semakin tinggi pula. Salah satu konsekuensi dari kondisi di atas adalah kian sering ditemukannya kandungan senyawa pencemar lingkungan di dalam bahan pangan. Tidaklah terlalu mengherankan, jika belakangan ini kita mulai sering mendengar berbagai berita adanya logam logam berat atau pestisida di dalam madu, seafood, sayuran dan lain-lain.
Kehadiran senyawa-senyawa pencemar, seperti logam berat, pestisida, PAH, PCB, dan dioxin, memunculkan risiko keracunan bagi orang yang mengkonsumsi. Karena luasnya spektrum senyawa pencemar dan bahan pangan yang tercemari maka risiko keracunan itu tidak hanya mengancam orang dewasa, tetapi juga anak balita. Banyak laporan, yang mengungkapkan bahwa senyawa pencemar telah "menyusup" bukan hanya dalam makanan orang dewasa tetapi juga pada makanan balita (Trends in Food Science & Technology, Vol. 8, February 1997).
Dalam memperhitungkan risiko pencemaran makanan pada bayi dan anak-anak, prinsip bahwa bayi atau anak-anak adalah "orang dewasa dalam ukuran kecil" (small adults) sama sekali keliru. Mereka harus diperhitungkan sebagai kelompok tersendiri. Mengapa demikian ? Ada beberapa alasan yang membuat mereka harus dikelompokkan secara istimewa.
Salah satu alasan penting adalah bahwa dari segi jumlah makanan yang dikonsumsi, berdasarkan berat badan, ternyata bayi dan anak-anak mengkonsumsi 3 sampai 4 kali lebih banyak dari orang dewasa. Akibatnya mereka lebih berpeluang untuk menerima kadar pencemar yang lebih tinggi dibandingkan orang dewasa, ketika kedua kelompok ini mengkonsumsi makanan yang sama.
Sebagai alasan yang lain, untuk senyawa pencemar tertentu (misalnya: logam berat timbal, Pb) penyerapan oleh usus balita cenderung lebih tinggi daripada orang dewasa. Selain itu penyebaran (distribusi) senyawa pencemar di dalam tubuh juga cenderung lebih luas pada balita dibandingkan orang dewasa. Hal terakhir ini disebabkan oleh lebih tingginya kecepatan sirkulasi di dalam berbagai organ tubuh balita. Lebih jauh lagi, pada bayi, ginjal sebagai organ pengatur eliminasi (pengeluaran) senyawa beracun belum dapat bekerja "secanggih" ginjal orang dewasa sampai ia mencapai usia sekitar 16 bulan.
Berdasarkan informasi di atas, maka sudah saatnya para orangtua mulai melaksanakan "pengendalian mutu" terhadap makanan yang akan diberikan pada anak-anak balita mereka. Salah satu kiat yang dapat dipakai adalah merunut informasi tentang daerah asal bahan makanan dan proses produksinya. Misalnya jika kita membeli susu bubuk, kita perlu mengetahui dari negara atau daerah mana bahan baku susu tersebut berasal, jika misalnya berasal dari negara atau daerah yang terkenal tingkat pencemarannya maka perlu dihindari. Meskipun cara ini tak selalu akurat dan memakan waktu namun hal ini akan sangat membantu. Yang dapat diharapkan adalah pada suatu saat nanti, jika konsumen telah kritis terhadap mutu bahan pangan, maka pihak produsen "mau tak mau" akan mengikuti tuntutan mutu itu. Akhirnya penyertaan label bebas bahan pencemar nantinya harus menjadi salah satu syarat pemasaran produk pangan. (BW)
Jakarta, Maret 2000Sumber: Seri Iptek Pangan Volume 1: Teknologi, Produk, Nutrisi & Kemanan Pangan, Jurusan Teknologi Pangan - Unika Soegijapranata, Semarang
Editor: Budi Widianarko, A. Rika Pratiwi, Ch. Retnaningsih
02 Mei 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar