02 Mei 2008

Alkohol Memang Tak Berguna

Alkohol Memang Tak Berguna

Sering munculnya pemberitaan tentang tata-niaga "miras" (minuman keras) setidaknya merupakan indikasi bahwa minuman beralkohol banyak dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia. Padahal sudah sering terungkap bahwa miras hanya akan membuat mabuk peminumnya. Namun anehnya justru semakin banyak pecandunya. Mungkin oleh kalangan tertentu mabuk-mabukan justru dianggap sebagai sarana untuk unjuk "kegagahan" atau kejantanan. Namun, apakah ada "manfaat" dari kebiasaan minum alkohol ?

Ethanol atau yang lebih dikenal luas sebagai alkohol merupakan salah satu contoh dari senyawa non-esensial yang dikonsumsi oleh manusia. Makanan yang kita konsumsi bukanlah sekedar kombinasi zat hidrat arang, lemak, protein, vitamin dan mineral saja, tetapi ada ribuan senyawa lain yang terkandung dalam makanan dan masuk ke tubuh kita, mekipun kadarnya sangat rendah. Senyawa-senyawa inilah yang dikenal sebagai senyawa non-esensial.

Pada kasus alkohol, meskipun tubuh dapat mempergunakan sekitar 7 kalori per dari setiap gram alkohol yang dikonsumsi, tetapi sebenarnya kalori dapat diperoleh dari banyak bahan lain yang lebih berguna. Pada kenyataannya tidak ada satupun proses biokimiawi tubuh yang membutuhkan alkohol (Eat for Life, 1992, Woteki & Thomas). Demikian pula halnya dengan senyawa-senyawa cafein yang terdapat dalam kopi, tea dan minuman ringan (termasuk minuman berlabel kesehatan yang sedang trendy saat ini).

Minuman beralkohol telah merupakan bagian yang tak terpisahkan dari perjalanan panjang peradaban manusia. Bangsa mesir kuno percaya bahwa bouza, sejenis bir, merupakan penemuan Dewi Osiris dan merupakan makanan sekaligus minuman. Anggur juga ditemukan oleh bangsa Mesir kuno dan dipergunakan untuk perayaan atau upacara keagamaan dan sekaligus sebagai obat. Dalam perkembangan selanjutnya, anggur dianggap sebagai minuman kaum ningrat (aristocrat) dan bir adalah minuman rakyat jelata (masses). Di negeri kita juga banyak dijumpai produk minuman tradisonal yang mengandung alkohol seperti tuak, ciu dan lain-lain. Setelah melalui perjalanan sejarah yang amat panjang, barulah pada paruh pertengahan abad 18 pada dokter di Inggris menemukan adanya efek buruk alkohol terhadap kesehatan. Penemuan ini akhirnya melahirkan suatu peraturan yang disebut sebagai Gin Act (1751).

Meskipun belum ada standar yang diterima secara umum tentang tingkat keamanan konsumsi minuman beralkohol, namun secara sederhana peminum alkohol dapat digolongkan ke dalam 3 kelompok (Eat for Life, 1992, Woteki & Thomas). Kelompok pertama adalah "peminum ringan" (light drinker) yaitu mereka yang mengkonsumsi antara 0,28 s/d 5,9 gram atau ekuivalen dengan minum 1 botol bir atu kurang. Kelompok kedua adalah "peminum menengah" (moderate drinker). Kelompok ini mengkonsumsi antara 6,2 s/d 27,7 gram alkohol atau setara dengan 1 s/d 4 botol bir per hari. Kelompok terakhir adalah "peminum berat" (heavy drinker) yang mengkonsumsi lebih dari 28 gram alkohol per hari atau lebih dari 4 botol bir sehari. Indikator terbaik untuk efek minuman beralkohol adalah kandungan alkohol dalam darah. Indikator ini sering dipergunakan oleh para polisi lalu-lintas di beberapa negara untuk "menilang" para sopir yang mabuk. Ketika kandungan alkohol darah mencapai 5% (5 bagian alkohol per 100 bagian cairan darah) maka si peminum akan mengalami sensasi positif, seperti persaan relaks dan kegembiraan (euphoria). Namun kandungan di atas 5%, si peminum akan merasa tidak enak dan secara bertahap akan kehilangan kendali bicara, keseimbangan dan emosi. Maka tak heran jika para pelaku pemerasan sering mendatangi korban dalam keadaan "setengah mabuk" ini karena ia menjadi lebih "berani" gara-gara sudah "kehilangan" emosi. Jika kandungan alkohol dalam darah dinaikkan lagi sampai 0,1 % maka si peminum akan mabuk total. Kemudian pada tingkat 0,2% beberapa orang sudah pingsan. Jika mencapi 0,3% sebagian orang akan mengalami coma, dan jika mencapai 0,4% si peminum kemungkinan besar akan tewas.

Beberapa penyakit yang diyakini berasosiasi dengan kebiasaan minum alkohol antara lain serosis hati, kanker, penyakit jantung dan syaraf. Sebagian besar kasus serosis hati (liver cirrhosis) dialami oleh peminum berat yang kronis. Sebuah studi memperkirakan bahwa konsumsi 210 gram alkohol - atau setara dengan minum sepertiga botol minuman keras (liquor) setiap hari selama 25 tahun - akan "menghasilkan" serosis hati.

Untuk kanker, terdapat bukti yang konsisten bahwa alkohol meningkatkan risiko kanker di beberapa bagian tubuh tertentu, termasuk: mulut, kerongkongan, tenggorokan, larynx dan hati. Alkohol memicu terjadinya kanker melalui berbagai mekanisme. Salah satunya, alkohol mengkatifkan ensim-ensim tertentu yang mampu memproduksi senyawa penyebab kanker. Alkohol dapat pula merusak DNA, sehingga sel akan berlipatganda (multiplying) secara tak terkendali.

Peminum minuman keras cenderung memiliki tekanan darah yang relatif lebih tinggi dibandingkan non-peminum (abstainer), demikian pula mereka lebih berisiko mengalami stroke dan serangan jantung. Peminum kronis (menahun) dapat pula mengalami berbagai gangguan syaraf mulai dari dementia (gangguan kecerdasan), bingung, kesulitan berjalan dan kehilangan memori. Diduga konsumsi alkohol yang berlebihan dapat menimbulkan defisiensi thiamin - komponen vitamin B-komplek berbentuk kristal yang esensial bagi berfungsinya sistem syaraf. Jadi, sudah sewajarnya jika konsumsi alkohol yang berlebihan haruus dihindari mengingat berbagai bukti tentang efek buruk alkohol terhadap kesehatan telah banyak terkuak.(BW)


Jakarta, Maret 2000Sumber: Seri Iptek Pangan Volume 1: Teknologi, Produk, Nutrisi & Kemanan Pangan, Jurusan Teknologi Pangan - Unika Soegijapranata, Semarang

Editor: Budi Widianarko, A. Rika Pratiwi, Ch. Retnaningsih

Tidak ada komentar: