14 Mei 2008

Analisis Perambatan Gelombang Gempa pada

Analisis Perambatan Gelombang Gempa pada
Batuan Dasar ke Permukaan Tanah

Wimpie A. N. Aspar
Peneliti BPP Teknologi


ABSTRAK
Pada saat gempa terjadi, kerusakan utama beberapa struktur bangunan karena pecahan-pecahan, gerakan yang tidak normal dan/atau tidak sama, dan kehilangan kekuatan dan/atau kekakuan tanah. Kehilangan kekuatan atau kekakuan tanah terjadi akibat penurunan bangunan, tanah longsor dan bencana lainnya. Proses kehilangan kekuatan yang terjadi dalam tanah akibat membesarnya tekanan air pori biasanya disebut likuifaksi tanah. Pada kondisi likuifaksi tegangan efektif tanah besarnya menjadi sama dengan nol. Likuifaksi tanah pada umumnya berlangsung saat terjadi gempa bumi. Hasil analisis respon dinamik akibat gempa memberikan gambaran percepatan riwayat waktu perambatan gelombang geser di permukaan tanah. Selanjutnya riwayat waktu penjalaran gelombang ini merupakan dasar untuk penentuan analisis dinamik struktur atas bangunan.


I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kepulauan Indonesia adalah salah satu wilayah di dunia dengan aktifitas gempa yang relatif tinggi, sekaligus merupakan wilayah tektonik yang sangat aktif dan kompleks. Hal ini disebabkan karena posisi Indonesia berada pada pertemuan empat lempeng tektonik dunia, yaitu lempeng Australia, lempeng Eurasia, lempeng Pasifik dan lempeng Philipina yang bergerak dengan kecepatan dan arah yang berbeda-beda (lihat Gambar 1). Apabila ditinjau terhadap percepatan puncak gempa di permukaan bumi, maka lebih dari setengah wilayah Indonesia memiliki kekuatan gempa sedang sampai tinggi dengan kedalaman pusat gempa dari dangkal sampai sangat dalam, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2. Karena lokasinya yang rawan terhadap gempa, maka pembangunan di Indonesia harus mempertimbangkan besarnya beban gempa pada perencanaan suatu bangunan. Berkaitan dengan aspek keamanan, bangunan-bangunan tersebut harus dirancang sebagai bangunan tahan gempa. Jika tidak dirancang dengan baik terhadap bahaya gempa, maka kerugian yang mungkin terjadi akan sangat besar mengingat tingginya resiko gempa di Indonesia.


Gambar 1: Lempeng Tektonik di Dunia (SqiQuest NetLink, 2001)

Pada saat gempa bumi, kerusakan utama beberapa tipe struktur terjadi karena terjadi pecahan-pecahan, gerakan yang tidak normal dan/atau tidak sama, dan kehilangan kekuatan atau kekakuan tanah. Kehilangan kekuatan atau kekakuan tanah merupakan akibat penurunan bangunan-bangunan, kegagalan bendungan tanah, tanah longsor dan bencana lainnya. Proses kehilangan kekuatan yang terjadi dalam tanah akibat membesarnya tekanan air pori biasanya disebut likuifaksi tanah. Gejala likuifaksi tanah utamanya berhubungan dengan tanah jenuh tanpa kohesi berbutir halus sampai kasar. Contoh likuifaksi tanah yang berhubungan dengan kerusakan terbesar adalah gempa bumi di Niigata, Jepang pada tanggal 16 Juni 1964 dan gempa bumi di Alaska pada tahun 1964.
Salah satu usaha yang pertama kali dilakukan untuk menjelaskan gejala likuifaksi di tanah pasir dilakukan oleh Casagrande (1936) dan didasarkan pada konsep angka pori kritis. Pasir padat, bila menjadi mengalami pembebanan geser, cenderung untuk muai; pasir lepas, untuk kondisi yang sama, cenderung volumenya berkurang. Angka pori dimana pada saat pasir diberi gaya geser tidak mengalami perubahan volume disebut sebagai angka pori kritis. Casagrande menjelaskan bahwa deposit pasir yang memiliki angka pori lebih besar dari angka pori kritis cenderung volumenya berkurang bila digetarkan oleh pengaruh seismik. Jika drainase tidak dapat berlangsung, maka tekanan air pori secara perlahan meningkat. Pada suatu saat mungkin besarnya tegangan total tanah akan sama dengan tekanan air pori. Bila hal tersebut terjadi, maka tegangan efektif tanah akan sama dengan nol. Dalam keadaan demikian, tanah granular jenuh tidak memiliki kekuatan geser dan kondisi ini akan mengakibatkan keadaan likuifaksi.

Gambar 2: Peta Seismisitas di Indonesia (BMG, 2003)

1.2. Maksud Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dalam rangka melakukan analisis respon dinamik tanah (spektra) dan analisis sejarah perambatan gelombang gempa. Perilaku tanah granular jenuh yang berpotensi mengalami likuifaksi sewaktu terjadi gempa dievaluasi. Dengan demikian dapat ditentukan tipe podasi yang sesuai dalam menahan beban gempa untuk berbagai jenis tanah di Indonesia.

II. ANALISIS RESPON DINAMIK TANAH
2.1. Konsep Analisis
Analisis perambatan gelombang dari batuan dasar ke permukaan tanah perlu dilakukan untuk memperkirakan besarnya amplifikasi yang dapat terjadi sebagai fungsi percepatan puncak pada batuan dasar (peak baserock acceleration = PBA), kandungan frekuensi, dan karakteristik tanah setempat yang ditunjukkan dengan kecepatan gelombang geser (S-wave) pada lapisan-lapisan tanah. Selain itu, analisis ini akan dapat memberikan gambaran percepatan riwayat waktu di permukaan tanah. Percepatan riwayat waktu ini dapat digunakan untuk analisis dinamik struktur atas suatu bangunan. Dalam kajian ini, analisis perambatan gelombang dilakukan sebagai input motion struktur atas.

2.2. Perambatan Gelombang Satu Dimensi
Selama terjadinya gempa akan terjadi penjalaran gelombang dari batuan dasar ke permukaan tanah. Selama penjalaran gelombang gempa akan terjadi amplifikasi atau deamplifikasi. Perjalanan perambatan gelombang sangat dipengaruhi oleh sifat-sifat dinamik tanah yang dilewati oleh gelombang gempa tersebut. Pengaruh kondisi tanah setempat telah dibahas oleh beberapa peneliti. Hampir semua peneliti mengambil asumsi bahwa respon utama disebabkan oleh penjalaran gelombang geser (shear wave) dari batuan dasar ke permukaan tanah. Salah satu teori yang sering digunakan adalah teori perambatan gelombang geser harmonik satu dimensi oleh Kanai (1951) dan Lysmer dkk. (1972).
Perambatan gelombang yang terjadi selama berlangsungnya gempa sangat dipengaruhi oleh kondisi tanah setempat. Perambatan gelobang geser dari batuan dasar ke permukaan dilakukan untuk memperoleh percepatan maksimum, faktor amplifikasi dan spektrum respon di permukaan tanah. Analisis ini didasarkan pada anggapan bahwa lapisan tanah terdiri dari beberapa lapis dan respon tanah disebabkan oleh adanya perambatan gelombang geser (shear wave) secara vertikal dari batuan dasar ke permukaan.
Perambatan vertikal gelombang geser pada sepanjang lapisan tanah dengan berbagai lapisan ditunjukkan pada Gambar 3, yang merupakan perambatan gelombang dan hanya akan menyebabkan perpindahan (displacement) dalam arah horizontal saja (satu dimensi). Pemodelan itu dapat ditulis dengan persamaan
(1)

Gambar 3: Sistem Perambatan Gelombang Geser Satu Dimensi

yang harus memenuhi persamaan gelombang berikut ini
(2)
Perpindahan harmonik (harmonic displacement) dengan frekuensi * dapat ditulis dalam bentuk
(3)
Substitusi Persamaan 3 kedalam Persamaan (2) menghasilkan suatu persamaan differensial biasa
(4)
dimana Persamaan (4) tersebut mempunyai penyelesaian umum sebagai berikut
(5)
dimana harga k didefinisikan sebagai
(6)
k adalah bilangan gelombang kompleks (complex wave) sedangkan G* adalah modulus geser kompleks. Viskositas (kekentalan) * dapat dihasilkan dari perkalian antara damping kritis  dan G, yang dirumuskan sebagai berikut
(7)
Pengujian pada beberapa material menunjukkan bahwa harga G dan  mendekati konstan pada daerah frekuensi yang menjadi hal pokok yang perlu diperhatikan dalam analisis. Hal ini akan mempermudah menunjukkan modulus geser kompleks dalam bentuk damping kritis yang konstan terhadap perubahan viskositas, yaitu
(8)
Penggabungan Persamaan (3) dan Persamaan (5) menghasilkan penyelesaian untuk persamaan gelombang harmonik terhadap frekuensi, dan dinyatakan sebagai berikut
(9)
Bentuk pertama dari Persamaan (9) menyatakan perambatan gelombang searah dengan sumbu x negatif (ke atas), sedangkan bentuk kedua menyatakan pantulan gelombang yang menjalar searah sumbu x positif (ke bawah). Persamaan (8) berlaku untuk tiap-tiap lapisan pada Gambar 3. Dengan memperkenalkan koordinat lokal sistem sumbu x untuk tiap-tiap lapisan, perpindahan pada bagian atas dan bawah lapisan m adalah
(10)
Tekanan geser pada sebuah permukaan horizontal adalah
(11)
Dengan mensubstitusikan turunan pertama Persamaan (8) terhadap variabel x kedalam Persamaan (11), didapat
(12)
tekanan geser pada bagian atas dan bawah lapisan m secara berturut-turut adalah
(13)
(14)
Tegangan geser dan perpindahan (displacements) harus menerus pada setiap permukaan lapisan. Sehingga dengan Persamaan (9), (10), (13), dan (14) dkidapat
(15)
(16)
Dari pemisahan dan penjumlahan Persamaan (15) dan (16), didapat
(17)
(18)
dimana *m adalah perbandingan impedansi kompleks (complex impedence ratio) yang tidak bergantung pada frekuensi, dan dapat ditulis sebagai berikut
(19)
Tegangan geser pada permukaan tanah sama dengan nol, sehingga jika *1 dan x1 sama dengan nol maka akan didapat E1 = F1 yaitu amplitudo kejadian dan gelombang pantul yang selalu sama untuk setiap permukaan bebas. Mulai dengan permukaan bebas, secara berulang menggunakan formula rekursif (recursion formulas) Persamaan (17) dan (18) berpengaruh pada hubungan antara amplitudo pada lapisan m dan pada permukaan lapisan tersebut
(20)
Transfer fungsi em dan fm akan lebih mudah untuk amplitudo E1 dan E2 = 1, dan dapat dihitung dengan mensubstitusikan kondisi ini kedalam rumus recursion pada Persamaan (17) dan (18). Transfer fungsi lain lebih mudah diperoleh dari fungsi em dan fm. Fungsi transfer An,m antara perpindahan pada level n dan m didefinisikan sebagai berikut
(21)
Dengan mensubstitusikan Persamaan (19), serta kedua fungsi transfer tersebut akan diperoleh
(22)
Berdasarkan pada Persamaan (22) ini dapat ditemukan fungsi transfer A(*) antara dua lapisan pada sistem. Sehingga jika gerakan diketahui pada suatu lapisan, maka gerakan pada lapisan lain dapat dihitung.
Amplitudo E dan F kemudian dapat dihitung untuk setiap lapisan pada sistem, dan regangan, perpindahan serta percepatan diperoleh dari fungsi perpindahan tersebut.
(23)
dan regangan dengan
(24)

2.3. Perilaku Non-linear Tanah
Beberapa masalah dalam bidang geoteknik menunjukkan perilaku non-linear (nonlinearity) dari material tanah. Parameter-parameter tanah yang digunakan dalam perencanaan dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti keadaan tegangan-regangan, adanya tegangan setempat (in situ stresses), sambungan (joints), ketidakkontinuan (discontinues), pembebanan, suhu dan adanya tekanan air pori. Hal tersebut dipertimbangkan dalam perencanaan, sehingga salah satu pengaruhnya, hubungan tegangan dan regangan akan menjadi komplek. Beberapa prosedur yang dapat digunakan di dalam penyelesaian masalah non linear dari material tanah diantaranya adalah dengan mensimulasikan perilaku non linear dengan suatu prosedur iteratif seperti prosedur linear inkrimental (secant stiffness) atau prosedur Newton-Raphson (tangent stiffness).

2.4. Sifat Dinamik Tanah
Beberapa sifat dinamik tanah yang harus dipertimbangkan dalam evaluasi respon dinamik akibat pergerakan tanah adalah modulus geser tanah (G), rasio redaman (dampinga) (Di), rapat massa () dan kecepatan gelombang geser (vs). G sangat tergantung pada regangan yang terjadi. Nilai G menurun dengan pertambahan regangan geser. Pada regangan yang rendah, modulus geser mencapai harga maksimum. Uji penetrasi standar (SPT) dapat digunakan untuk korelasi di dalam menentukan harga G (Seed dkk., 1986).

2.4.1 Modulus Geser dan Damping Ratio pada Pasir
Hardin dan Richard (1963) melaporkan hasil beberapa pengujian menggunakan resonant column yang dilakukan pada pasir Ottawa kering. Kecepatan gelombang geser (vs), besarnya tidak tergantung pada gradasi, distribusi ukuran butir, dan kerapatan relatif pada pemadatan tetapi tergantung pada angka pori e, dan tegangan efektif ’. Hubungan tersebut ditunjukkan sebagai berikut
vs = (19,7 – 9,06e)’1/4 untuk ’  95,8 kN/m2 (25)
vs = (11,36 – 5,35e)’0.3 untuk ’ < 95,8 kN/m2, (26)
Berdasarkan pada kecepatan gelombang geser yang dijelaskan tersebut, modulus geser pasir untuk getaran rendah dapat diberikan sebagai berikut (Hardin dan Black, 1968)
(untuk bentuk butiran bulat) (27)
(untuk bentuk butiran runcing) (28)

2.4.2 Korelasi Gmaks Pasir dan Tahanan Standar Penetrasi
Uji penetrasi standar digunakan pada penyelidikan tanah di Amerika dan negara-negara lain. Angka standar penetrasi dapat dikorelasikan (Seed dkk., 1986) dengan perkiraan modulus geser maksimum adalah
Gmaks  35 x 1.000 (’)0,4 (29)
dimana N60 adalah nilai N yang diukur pada SPT sampai 60% energi jatuh bebas batang bor teoritis.

2.4.3 Modulus Geser dan Damping Rasio untuk Lempung
Untuk regangan dengan amplitudo rendah, modulus geser G = Gmaks untuk tanah lempung sensitif dapat ditunjukkan sebagai berikut (Hardin dan Drnevich, 1972) :
(30)
dimana OCR = over consolidation ratio (rasio terlalu terkonsolidasi) dan K = konstanta = fungsi dari indek plastisitas (PI). Untuk lempung terkonsolidasi normal, Booker dan Ireland (1965) mengkorelasikan sebagai berikut
Ko = 0,4 + 0,007(PI) untuk 0  PI  40% (31)
Ko = 0,68 + 0,001(PI – 40) untuk 40%  PI  80% (32)

III. BEBAN GEMPA DAN KONDISI TANAH UNTUK BANGUNAN DI INDONESIA
3.1. Zonasi Pembebanan Seismik
Zonasi pembebanan gempa di Indonesia pada peraturan bangunan tahan gempa yang saat ini berlaku, adalah Peraturan Perencanaan Tahan Gempa Indonesia Untuk Gedung (PPTGIUG). Menurut peraturan ini wilayah gempa di Indonesia diklasifikasikan atas enam zona seperti ditunjukkan pada Gambar 4. Zona satu menunjukkan daerah dengan percepatan gempa yang paling besar dan zona enam dengan percepatan gempa yang paling kecil (relatif stabil). Peraturan ini didasarkan pada kriteria 10% kemungkinan percepatan maksimum akan terlampaui dalam waktu 20 tahun umur bangunan, atau setara dengan periode ulang gempa 200 tahun.
Peraturan perencanaan bagunan tahan gempa di Indonesia saat ini sedang melalui proses revisi. Pada usulan zonasi gempa di Indonesia yang baru (tim zonasi gempa Indonesia), zona gempa di Indonesia nantinya direncanakan untuk dibagi atas enam zona dengan tingkat percepatan gempa untuk masing-masing zona meningkat. Zona satu dengan percepatan gempa yang paling kecil (stabil) dan zona enam dengan tingkat percepatan gempa terbesar. Percepatan gempa yang diusulkan adalah seperti berikut:
 Zona 1 : 0,05 g
 Zona 2 : 0,05 – 0,15 g
 Zona 3 : 0,15 – 0,20 g
 Zona 4 : 0,20 – 0,25 g
 Zona 5 : 0,25 – 0,30 g
 Zona 6 : 0,30 – 0,40 g


Gambar 4: Zonasi Gempa di Indonesia (PPTGIUG, 1983)

Pembagian zona ini didasarkan atas perbedaan besarnya perkiraan percepatan gempa permukaan untuk masing-masing wilayah di Indonesia. Dengan adanya zonasi gempa baru yang masih sedang dikembangkan diharapkan nantinya dapat digunakan untuk menentukan besarnya beban gempa untuk merancang suatu bangunan tahan gempa. Pada revisi peraturan ini kriterianya adalah 10% kemungkinan percepatan maksimum akan terlampaui dalam waktu 50 tahun umur bangunan, atau setara dengan periode ulang gempa 475 tahun. Untuk keperluan rancangan bangunan tahan gempa, perlu dibuat suatu kriteria yang jelas mengenai ketahanannya terhadap beban gempa.

3.2. Klasifikasi Tanah
Kondisi tanah setempat mempunyai peran yang sangat penting dalam menentukan respons suatu lokasi (site) terhadap gelombang gempa. Respons gempa yang tiba di batuan dasar bisa diperkuat atau berubah kandungan frekuensinya karena tersaringnya getaran berfrekuensi tinggi. Sebaliknya, intensitas gempa itu sendiri menentukan linear tidaknya renspon suatu lokasi yang nantinya berpengaruh pada perioda alami (natural period) di lokasi tersebut. Faktor-faktor ini sangat penting untuk dipahami sehingga bisa diantisipasi respon suatu bangunan yang terletak di suatu lokasi tertentu. Pada gilirannya akan menghasilkan suatu perancangan bangunan yang aman dan efisien. Tingginya intensitas gempa yang tercatat di stasiun yang terletak pada tanah lunak lebih banyak disebabkan oleh adanya amplifikasi gelombang gempa pada saat merambat dari batuan dasar ke permukaan.
Berdasarkan uraian sebelumnya sangat diperlukan adanya klasifikasi tanah yang praktis untuk menunjukkan variasi kekakuan tanah atau sifat dinamik tanah dapat digunakan untuk mengetahui seberapa besar amplifikasi percepatan gempa yang dapat terjadi dari batuan dasar ke permukaan tanah. Klasifikasi ini berdasarkan pada rata-rata penetrasi standar ( -SPT), rata-rata kecepatan gelombang geser ( ) dan rata-rata kuat geser tak teralirkan (undrained) ( ) untuk lapisan tanah setempat.
Kondisi lokasi dengan klasifikasi tanah yang berbeda akan mempengaruhi karakteristik gempa seperti amplitudo, jumlah frekuensi dan durasi dari gerakan tanah. Sesungguhnya, respon gempa tergantung dari geometri dan sifat-sifat material bawah permukaan (subsurface), pada topografi lokasi dan karakteristik dari input motion.
Kondisi tanah lokal pada Peraturan Perencanaan Tahan Gempa Indonesia Untuk Gedung (PPTGIUG) hanya mempertimbangkan dua klasifikasi tanah; yaitu tanah keras dan tanah lunak. Pengaruh kondisi tanah lokal perlu ditinjau kembali dan diperbaharui dengan mempertimbangkan kondisi tanah yang lebih rinci. Hal ini perlu didasarkan pada analisis respon lokasi tertentu (site specific) dengan mempertimbangkan sifat dinamik tanah, besarnya percepatan gempa di batuan dasar dan kandungan frekuensi yang dipengaruhi oleh kedalaman dari lapisan tanah. Rekomendasi respon spektra rencana selain mempertimbangkan sifat dinamik tanah dengan analisis perambatan gelombang gempa dari batuan dasar kepermukaan, juga dibandingkan dengan respons spektra rencana yang didasarkan pada Uniform Building Code (UBC, 1997) dan Borcherdt (1994).
Respon spektra rencana perlu mempertimbangkan sifat dinamik tanah dengan analisis perambatan gelombang gempa dari batuan dasar ke permukaan. Dengan mempertimbangkan parameter-parameter yang didapat pada respon spektra rencana, direkomendasikan untuk mengklasifikasikan tanah ke dalam empat klasifikasi, yaitu: batuan (S1), tanah keras (S2), tanah sedang (S3) dan tanah lunak (S4). Klasifikasi ini dibuat dengan berdasarkan pada rata-rata uji penetrasi standar ( -SPT), rata-rata kecepatan gelombang geser ( ) atau rata-rata kuat geser tak teralirkan (undrained) ( ) untuk tanah lempung. Pedoman yang dibuat berdasarkan UBC 97 dipergunakan dalam hal ini untuk mengklasifikasikan tanah. Persamaan (33), (34) dan (35) berikut ini dapat digunakan untuk menentukan besarnya -SPT, dan dengan kedalaman tanah 30 m pertama (UBC97).
(33)
(34)
(35)
dimana:
di = tebal lapisan tanah ke i;
ds = tebal lapisan tanah tidak kohesif pada 30 m pertama;
dc = tebal lapisan tanah kohesif pada 30 m pertama;
vsi = kecepatan gelombang geser pada lapisan tanah ke i;
Ni = tahanan penetrasi standar untuk lapisan tanah ke i; dan
sui = kuat geser tanah undrained lapisan tanah ke i.
Klasifikasi ini digunakan dalam kajian ini dan untuk memberikan rekomendasi/pedoman rancangan pondasi untuk berbagai zonasi gempa.

IV. PEMBAHASAN DAN HASIL
Analsis yang dilakukan pada kajian ini menggunakan kasus data gempa yang terjadi di Jakarta. Hasil analisis perambatan gelombang gempa dari batuan dasar ke permukaan tanah dilakukan dengan menggunakan input motion (gerakan masukan) dengan periode ulang gempa 500 tahun dengan percepatan gempa maksimum 0,17 g. Input motion yang dihasilkan pada batuan dasar dapat dilihat seperti pada Gambar 5. Selama penjalaran gelombang gempa dari batuan dasar ke permukaan tanah, sangat dipengaruhi oleh kondisi lapisan tanah setempat. Kondisi tanah setempat ini diperhitungkan dalam analisis menggunakan beberapa rumus-rumus seperti telah dijelaskan sebelumnya. Percepatan riwayat waktu untuk permukaan tanah akan mengalami amplifikasi atau deamplifikasi selama waktu 40 detik pertama sebagai pengaruh dari kondisi tanah setempat.

Gambar 5: Riwayat Waktu Percepatan Gempa pada Batuan Dasar

Hasil rambatan gelombang dalam bentuk percepatan riwayat waktu untuk permukaan tanah disajikan pada Gambar 6. Percepatan riwayat waktu ini nantinya dapat digunakan sebagai masukan didalam mempertimbangkan besarnya beban gempa untuk perhitungan struktur bangunan di atasnya. Selama penjalaran gelombang terjadi perubahan besarnya percepatan sebagai akibat dari kondisi lapisan yang dilaluinya. Pada permukaan tanah ini percepatan gempa terjadi amplifikasi relative cukup besar selama penjalaran waktu percepatan gempa 20 detik pertama. Selanjutnya terjadi deamplifikasi sampai riwayat waktu 40 detik.
Variasi dari percepetan gempa selama perambatan dari batuan dasar ke permukaan tanah disajikan pada Gambar 7. Dapat dilihat pada Gambar 7 bahwa percepatan gravitasi sangat bervariasi pada permukaan tanah sampai kedalaman 60 meter di bawah permukaan tanah. Selanjutnya pada kedalaman lebih besar dari 60 meter percepatan gravitasi relatif konstan sampai pada kedalaman kira-kira 310 meter di bawah permukaan tanah. Hal ini terjadi kemungkinan besar karena pada kedalaman lebih besar dari 60 meter lapisan batuannya relatif seragam. Akan tetapi pada kedalaman lebih besar dari 310 meter dari permukaan tanah, percepatan gempa mulai membesar.
Selain itu dapat juga dikeluarkan renpon spektra untuk masing masing lokasi tempat perambatan gelombang. Dari beberapa hasil perambatan gelombang dari batuan dasar ke permuakaan tanah dapat dibuat respon spektra untuk suatu klasifikasi tanah tertentu. Tempat-tempat dengan klasifikasi tanah yang sama akan dikumpulkan untuk membuat respon spektra. Gambar 8 menunjukkan respon spektra untuk suatu klasifiksi tanah tertentu. Dari respon spektra seperti terlihat pada Gambar 8, dapat dibuat respon spectra rencana yang dapat digunakan di dalam perencanaan struktur bangunan tahan gempa.


Gambar 6: Riwayat Waktu Percepatan Gempa pada Permukaan Tanah

V. PENUTUP
Berdasarkan hasil analisis dan penelitian yang dilakukan dapat disampaikan beberapa hal sebagai berikut:
5.1. Kesimpulan
1. Selama penjalaran gelombang gempa dari batuan dasar ke permukaan tanah, sangat dipengaruhi oleh kondisi lapisan tanah setempat. Percepatan riwayat waktu untuk permukaan tanah akan mengalami amplifikasi atau deamplifikasi sebagai pengaruh dari kondisi tanah setempat.
2. Pada permukaan tanah, percepatan gempa terjadi amplifikasi relatif cukup besar selama penjalaran waktu percepatan gempa 20 detik pertama. Selanjutnya terjadi deamplifikasi sampai riwayat waktu 40 detik.
3. Pada batuan dasar, nampaknya percepatan gempa terjadi amplifikasi relatif cukup besar selama penjalaran waktu percepatan gempa 40 detik. Hal ini terjadi karena selama penjalaran gelombang gempa terjadi perubahan besarnya percepatan sebagai akibat dari kondisi lapisan yang dilaluinya.
4. Percepatan gempa selama perambatan dari batuan dasar ke permukaan tanah sangat bervariasi. Pada permukaan tanah sampai kedalaman kira-kira 60 meter dari muka tanah percepatan gempanya berfluktuasi mulai dari 0,1 g sampai dengan 0,17 g. Pada kedalaman 60 sampai 310 meter di bawah muka tanah percepatan gempa relatif konstan dan pada kedalaman 310 meter di bawah muka tanah percepatan gempa mulai membesar.

5.2. Saran
Dalam kajian ini dapat disarankan beberapa hal sebagai berikut:
1. Mengingat tanah granular jenuh berpeluang besar terhadap bahaya likuifaksi bila terjadi gempa, maka usaha yang dapat dilakukan untuk mengurangi bencana akibat likuifaksi hanya sebatas pada memperbaiki kondisi tanah sehingga kerentanan terhadap likuifaksi dapat dihilangkan atau dikurangi.
2. Hal penting dalam evaluasi terhadap bahaya likuifaksi adalah evaluasi terhadap gangguan pada tanah yang mempercepat terjadinya likuifaksi. Ada beberapa kriteria yang dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam mengatasi bahaya likuifaksi. Persyaratan tersebut meliputi kriteria historis batuan, geologis, komposisi dan keadaan batuan.

UCAPAN TERIMA KASIH
Kajian ini merupakan bagian dari hasil penelitian Riset Unggulan Kemitraan “Perencanaan Rumah Tinggal Tahan Gempa dan Perbaikan Kerusakan Gedung akibat Gempa” Direktorat Teknologi Transportasi, BPPT. Terima kasih disampaikan kepada Dr. Pariatmono, peneliti utama dalam kegiatan ini yang terus menerus melakukan diskusi dan interaksi terhadap analisis pemodelan dan koreksi yang konstruktif.

DAFTAR PUSTAKA
Badan Meterologi dan Geofisika, http://www.bmg.go.id/, Seismicity Map, 2003
Booker, E. W., dan Ireland, H. O. (1965). “Earth Pressure at Rest Related to Stress History,” Canadian Geotechnical Journal, Vol. 2, No. 1, hal. 1-15.
Borcherdt, R. D., (1994). “Estimates of Site-Dependent Response Spectra for Design (Methodology and Justification)”, Earthquake Spectra, Vol. 10, No. 4.
Casagrande, A. (1936). “Characteristics of Cohesionless Soils Affecting the Stability of Slopes and Earthfills,” Journal of the Boston Society of Civil Engineers, Najuari, Vol. 23, pp. 257-276.
Hardin, B. O., dan Richard, F. E., Jr. (1963). ”Elastic Wave Velocities in Granular Soils,” Journal of the Soil mechanics and Foundation Division, ASCE, Vol. 89, No. SM1, hal. 33-65.
Hardin, B. O., dan Black, W. L. (1968). “Vibration Modulus of Normally Consolidated Clays," Journal of the Soil mechanics and Foundation Division, ASCE, Vol. 94, No. SM2, hal. 353-369.

Gambar 7: Variasi Percepatan Gempa dari Batuan Dasar ke Permukaan Tanah
(1 ft = 0,31 m)

Gambar 8: Contoh Hasil Analisis Respon Spektra

Hardin, B. O., dan Drnevich, V. P. (1972). “Shear Modulus and Damping in Soils: Design Equations and Curves,” Journal of the Soil mechanics and Foundation Division, ASCE, Vol. 98, No. SM7, hal. 667-692.
Kanai, K. (1951). “Relation Between the Nature of Surface Layer and the Amplitude of Earthquake Motions,” Bulletin Tokyo Earthquake Research Institute.
Lysmer, J., Seed, H. B., dan Schanabel, P. B. (1972). SHAKE a Computer Program for Earthquake Respons Analysis Horizontally Layered Sites, EERC 72-12, University of California at Berkeley.
Peraturan Perencanaan Tahan Gempa Indonesia Untuk Gedung, (1983) Direktorat Penyelidikan Masalah Bangunan, Bandung, Indonesia.
Seed, H. B., Wong, R. T., Idriss, I. M., dan Tokimatsu, K. (1986). ”Modified and Damping Factors for Dynamic Analyses of Cohesive Soils,” Journal of Geotechnical Engineering, ASCE, Vol. 112, No. GT11, hal. 1016-1031.
SqiQuest NetLink, http://sciquest.enviroweb.org/, 2001
Structure Engineering Design Provision, (1997), ”Uniform Building Code (UBC97)”, Vol. 2, International Conference of Building Officials.

Contoh:

Contoh:

Pekerjaan A B C D E F
Mesin I 8 6 5 7 3 9
Mesin II 4 7 5 4 6 8

Dengan menggunakan aturan Jonhson, penyelesaian pengurutan pekerjaannya sebagai berikut:
1. Pekerjaan dengan waktu terpendek adalah pekerjaan E selama 3 jam pada mesin I, maka pekerjaan E ditempatkan pada urutan pertama.

E

2. Pekerjaan dengan waktu terpendek berikutnya adalah pekerjaan A dan D masing-masing selama 4 jam pada mesin II. Maka pekerjaan A atau D bisa ditempatkan pada urutan terakhir (Dalam hal ini bisa secara sebarang untuk lebih dulu memilih pekerjaan A atau D).

E A D

Atau

E D A

3. Pekerjaan dengan waktu terpendek berikutnya adalah pekerjaan C selama 5 jam baik pada mesin I maupun II. Maka pekerjaan C bisa secara sebarang untuk ditempatkan pada urutan awal atau terakhir.

E C A D

Atau

E C D A


4. Begitu seterusnya dengan mengulangi langkah 1, 2 dan 3. Sehingga akhirnya akan diperoleh hasil pengurutan sebagai berikut:

E C B F A D


Diagram urutan penugasan dan jadwal waktunya secara lengkap ditunjukkan pada gambar berikut ini:

I E C B F A D
II E C B F A D


Dari gambar tersebut diketahui bahwa total waktu pekerjaan adalah 42 menit seperti ditunjukkan pada Tabel berikut:



Tabel 1. Waktu produktif dan waktu menganggur
Mesin Waktu Produktif
(jam) Waktu Menganggur
(jam) Total
[jam]
I 38 4 42
II 7 35 42

Perubahan kebutuhan terhadap produk akhir dalam horizon perencanaan

Perubahan kebutuhan terhadap produk akhir dalam horizon perencanaan

Sistem MRP dirancang untuk menjadi system yang fleksibel terhadap perubahan-perubahan, baik perubahan dari luar (permintaan) maupun dari dalam (kapasitas). Fleksibilitas ini bukannya tidak menimbulkan masalah. Perubahan kebutuhan akan produk akhir tidak hanya berpengaruh pada penentuan rencana pemesanan (timing) namun mempengaruhi pula penentuan jumlah kebutuhan yang diinginkan. Sebagai contoh, ada struktur produk sebagai berikut:




Dengan persediaan awal = 15



Dengan persediaan awal = 25





Misalnya ada dua macam kebutuhan kotor A (dianggap sebagai perubahan lebutuhan pada 2 perioda perencanaan:




Tabel 1. Data kebutuhan kotor komponen A untuk 2 kasus

Kasus Kasus I Kasus II
Perioda Waktu 1 2 1 2
Kebutuhan Kotor 15 75 75 15



Tabel 2. Contoh perhitungan akibat perubahan kebutuhan


Kasus Kasus I Kasus II
Perioda Waktu 1 2 1 2
Komponen A
Kebutuhan Kotor 15 75 75 15
Persediaan 15 0 15 25
Kebutuhan Bersih 0 75 60 10
Komponen B
Kebutuhan Kotor 10 75 60 10
Persediaan 25 15 25 0
Kebutuhan Bersih 0 [-15] 60 35 10



Dari contoh terlihat bahwa kebutuhan bersih komponen B untuk kasus I berbeda dengan kasus II. Jika dihubungkan dengan lead time, perbedaan besarnya lot di suatu perioda akan mempengaruhi jadwal pemesanan. Maka dapat dibayangkan apa yang terjadi apabila perubahan-perubahan ini dalam harian. Proses perhitungan kembali harus dilakukan setiap hari, sehingga perhitungan menjadi tidak efisien.

SISTEM PRODUKSI

SISTEM PRODUKSI

Pengertian:
Sistem adalah seperangkat unsur yang secara teratur saling berkaitan sehingga membentuk suatu totalitas.
Produksi adalah segala kegiatan untuk menimbulkan atau meningkatkan faedah/ nilai suatu barang atau jasa.

Sistem produksi adalah suatu keterkaitan unsur-unsur yang berbeda secara terpadu, menyatu dan menyeluruh dalam pentranformasian masukan menjadi keluaran.
Sistem Produksi yang sering dipergunakan dapat dibedakan atas dua macam, yaitu :
1. Sistem seri, di mana dua atau lebih sistem merupakan suatu sistem yang lebih besar.
2. Sistem pararel, di mana perusahaan memprodusir barang – barang yang serupa di beberapa pabrik dengan lokasi yang berbeda tetapi dalam saat pengerjaan yang sama, sehingga dapat berproduksi dengan jumlah yang lebih besar.

Dalam pelaksanaan sistem produksi terutama dalam kegiatan menghasilkan produk yang berupa barang, terdapat tiga macam proses, yaitu :
1. Proses produksi yang kontinyu (Continuous process), di mana peralatan produksi yang digunakan disusun dan diatur dengan memperhatikan urut-urutan kegiatan atau routing dalam menghasilkan produk tersebut, serta arus bahan dalam proses telah distandardisir.
2. Proses prooduksi yang terputus – putus ( Intermittent Process), di mana kegiatan produksi dilakukan tidak standard, tetapi didasarkan pada produk yang dikerjakan, sehingga peralatan produksi yang dipergunakan disusun dan diatur dapat bersifat lebih luwes (flexible) untuk dapat dipergunakan bagi menghasilkan berbagai produk dan berbagai ukuran.
3. Proses produksi yang bersifat proyek, di mana kegiatan produksi dilakukan pada tempat dan waktu yang berbeda – beda, sehingga peralatan produksi yang digunakan ditempatkan di lokasi di mana proyek tersebut dilaksanakan dan pada saat yang direncanakan.


PENJADWALAN SATU PROSESSOR

A. PENDAHULUAN
Keluaran perencanaan aggregat ialah suatu jadwal induk. Jadwal tersebut diturunkan menjadi beberapa periode perencanaan, seperti hari atau minggu. Selanjutnya pekerjaan yang harus diselesaikan pada periode tersebut diatur. Diassumsikan bahwa seluruh sumber daya yang dibutuhkan menjalankan aktivitas-aktivitas tersebut telah disediakan pada awal periode. Keputusan yang harus dibuat ialah urutan pekerjaan apa yang harus dikerjakan terlebih dahulu. Pengurutan pekerjaan ialah pokok bahasan bab ini. Pendekatan ini sering kali tidak dapat menghasilkan jawaban optimal. Sering kali harus digunakan pendekatan heuristik karena rumitnya masalah yang harus dihadapi..
Pada saat pimpinan bagian produksi mulai menjadwalkan kegiatan di departemennya, ia harus memperhatikan ketersediaan sumber daya dan peralatan. Selanjutnya, himpunan pekerjaan yang harus diselesaikan harus dikaji ulang. Untuk tiap pekerjaan, pimpinan bagian produksi tersebut harus mengetahui sumber daya yang dibutuhkan dan waktu proses yang dibutuhkan untuk menyelesaikan pekerjaan tersebut. Kendala-kendala seperti halnya saat awal pekerjaan dapat dimulai, maupun kapan pekerjaan tersebut harus diselesaikan juga harus diperhatikan. Pada akhirnya, si pimpinan tersebut harus mengurutkan pekerjaan mana yang harus diselesaikan terlebih dahulu.. Dengan berjalannya waktu, maka ketersediaan sumber daya dapat saja berubah. Dalam hal ini, penjadwalan ulang menjadi penting. Sehingga karenanya, masalah penjadwalan merupakan suatu proses dinamis..

B. TUJUAN PENJADWALAN
Seorang supervisor dapat mengatur pekerjaan dengan berbagai cara. Cara yang paling sederhana ialah dengan mengurutkannya secara acak. Cara lainnya yang lebih sering digunakan ialah dengan menjadwalkan pekerjaan tersebut secara heuristik menggunakan aturan yang telah ditetapkan sebelumnya.
Terdapat berbagai macam tujuan penjadwalan.. Yang paling sering dihadapi ialah meningkatkan utilisasi peralatan atau sumber daya. Yaitu dengan cara menekan waktu menganggur sumber daya tersebut.. Untuk sejumlah pekerjaan, telah diketahui bahwa maksimasi utilisasi sumber daya berbanding terbalik dengan waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan seluruh pekerjaan. Waktu tersebut dikenal sebagai makespan atau waktu alir maksimum dari jadwal pekerjaan tersebut.
Tujuan penjadwalan lainnya yang penting untuk diketahui ialah minimasi jumlah barang setengah jadi. Hal ini dilakukan dengan cara meminimasi jumlah pekerjaan yang menunggu dalam antrian sementara sumber daya disibukkan dengan pekerjaan lainnya. Tujuan ini dicapai dengan cara menekan waktu alir rata-rata.
Tujuan penjadwalan lainnya ialah menekan kelambatan. Dalam banyak hal, sejumlah pekerjaan memiliki batas waktu penyelesaian pekerjaan (Due Date) dan apabila pekerjaan selesai setelah Due Date akan dikenakan penalty. Terdapat beberapa tujuan berkenaan dengan kelambatan ini. Tujuan penjadwalan dapat berupa minimasi kelambatan maksimum atau dapat berupa mengurangi jumlah pekerjaan yang terlambat. Tidak ada prosedur umum penjadwalan yang bertujuan menekan kelambatan rata-rata, tetapi ada beberapa metode heuristik yang dapat memberikan hasil cukup baik untuk memecahkan masalah ini.

C. DEFINISI PERISTILAHAN YANG DIGUNAKAN
Sebagian besar istilah penjadwalan dapat dijelaskan dengan mudah. Hanya beberapa istilah yang harus didefinisikan terlebih dahulu.

Tabel 1. Definisi Peristilahan dan Notasi Yang Digunakan Dalam Bab Ini
ISTILAH PENJELASAN
Waktu Pemrosesan
(Processing Time) Perkiraan lama menyelesaikan suatu pekerjaan.
Estimasi ini mencakup waktu set up yang mungkin diperlukan. Dalam bab ini waktu pemrosesan dinotasikan sebagai t i .
Batas Waktu
(Due Date) Batas waktu yang ditetapkan untuk suatu pekerjaan. Jika pekerjaan diselesaikan dengan waktu lebih lama dari due date, maka pekerjaan dianggap terlambat. Diassumsikan bahwa beberapa jenis penalty akan terjadi jika pekerjaan terlambat. Due date dinotasikan sebagai d i .
Kelambatan
(Lateness)
Selisih antara waktu penyelesaian pekerjaan dengan batas waktunya (due date). Suatu pekerjaan dapat memiliki kelambatan positif, dalam hal pekerjaan selesai setelah batas waktunya; atau kelambatan negatif, dimana pekerjaan selesai sebelum batas waktu yang ditetapkan. Lateness dinotasikan sebagai L i .
Ukuran Kelambatan
(Tardiness) Ukuran kelambatan positif. Jika pekerjaan selesai lebih awal dari batas waktu, pekerjaan ini akan memiliki Lateness negatif tetapi Tardiness positif. Tardiness dinotasikan sebagai T i dimana T i ialah maksimum (0,Li).
Kelonggaran
(Slack) Ukuran selisih antara waktu yang tersisa antara saat selesainya pekerjaan dengan batas waktu yang ditetapkan. Slack dinotasikan sebagai SL i =d i – t i .
Waktu Penyelesaian
(Completion Time) Rentang antara awal pekerjaan pada pekerjaan pertama, dimana pekerjaan dinotasikan sebagai t = 0 dan saat dimana pekerjaan ke-i diselesaikan. Rentang ini dinotasikan sebagai C i.
Waktu Alir
(Flow time) Rentang waktu antara saat suatu pekerjaan dapat dimulai dan saat pekerjaan selesai dikerjakan. Sehingga flow time sama dengan waktu pemrosesan ditambah dengan waktu menunggu sebelum diproses. Waktu alir dinotasikan sebagai F i .

Sumber :
David D. Bedworth dan James E. Bailey, Integrated Production Control System : Management, Analysis, Design, John Wiley and Sons, New York, 1982, Hal.299-300.

D. NOTASI MATEMATIS PENJADWALAN SATU PROSESOR
Masalah penjadwalan yang paling sederhana muncul apabila ada sekumpulan pekerjaan menunggu untuk dikerjakan dan hanya tersedia satu prosesor untuk mengolahnya. Waktu pemrosesan dan batas waktu penyelesaian pekerjaan itu diassumsikan diketahui dan tak tergantung pada urutan pekerjaan yang akan dikerjakan. Masalah penjadwalan dalam kasus semacam ini ialah memutuskan pekerjaan mana yang akan dikerjakan terlebih dahulu, pekerjaan apa yang harus dikerjakan pada urutan kedua, ketiga dan selanjutnya.
Pemilihan urutan pekerjaan yang akan dikerjakan itu akan berpengaruh pada saat/ waktu selesainya pekerjaan yang bersangkutan.

Konsep pertama yang harus dijelaskan ialah makespan.. Dalam penjadwalan satu processor, makespan yang diperlukan untuk menyelesaikan seluruh pekerjaan akan tetap besarnya untuk berbagai macam urutan penjadwalan yang akan dihasilkan. Makespan ialah jumlah waktu pemrosesan yang dibutuhkan untuk menyelesaikan seluruh pekerjaan.

n
M s =  t i ( 1 )
i = 1

Dimana :
M s = Makespan untuk seluruh n pekerjaan dalam jadwal
t i = Waktu pemrosesan pekerjaan ke-i .

Jika diassumsikan semua pekerjaan siap dikerjakan pada saat jadwal dimulai (yaitu pada t = 0), maka waktu alir atau flow time untuk tiap pekerjaan sama dengan waktu penyelesaiannya (Completion Time).

F i,s = C i,s ( 2 )

Di mana:
F i,s = Waktu alir (flow time) pekerjaan i dalam jadwal S
C i,s = Waktu penyelesaian (Completion Time) pekerjaan i dalam jadwal S ialah :

Dan waktu alir rata-rata (Mean Flow Time) dari jadwal S ialah :
n
F s = 1  F i,s ( 3 )
n i = 1

Jika diassumsikan bahwa seluruh batas waktu (due date) diukur dari t = 0, maka kelambatan (lateness) dan ukuran kelambatan (tardiness) tiap pekerjaan dinyatakan dalam persamaan berikut :

L i,s = C i,s – d i ( 4 )
Ti,s = max (0,C i,s-d i )  i  n ( 5 )

Sehingga karenanya, kelambatan rata-rata (mean lateness) dan ukuran kelambatan rata-rata (mean tardiness) dapat didefinisikan sebagai :
n
L s = 1  L i,s ( 6 )
n i = 1
n
T s = 1  T i,s ( 7 )
n i = 1

Sementara itu, jumlah pekerjaan yang terlambat dinyatakan dalam persamaan berikut :
n
NT =   i ( 8 )
i = 1
 i = 1 jika T i > 0 ;  i = 0 lainnya.
Lebih jauh lagi, barangkali kita akan tertarik pada jumlah kelambatan maksimum (Maximum Lateness) atau ukuran kelambatan maksimum (Maximum Tardiness) yang dinyatakan dalam persamaan berikut :

T max = max {0, L max }  i  n ( 9 )

L max = max {L i,s }  i  n (10)

Seperti telah disebutkan, makespan penjadwalan satu prosesor selalu konstan besarnya. Walaupun penjadwalan satu prosesor tidak akan berpengaruh terhadap besarnya makespan, tetapi pengurutan pekerjaan akan sangat berpengaruh pada waktu alir rata-rata (Mean Flow Time), kelambatan rata-rata (Mean Lateness) atau ukuran kelambatan rata-rata (Mean Tardiness).



E. ATURAN – ATURAN PENJADWALAN SATU PROSESOR

1. ATURAN SPT (WAKTU PEMROSESAN TERKECIL)
Pada saat menjadwalkan suatu kumpulan pekerjaan di sebuah prosesor, maka dengan aturan SPT pekerjaan diurutkan mulai dari waktu pemrosesan (Processing Time) terkecil sampai dengan pemrosesan yang terbesar.
Aturan SPT ini berguna untuk meminimasi waktu alir rata-rata (Mean Flow Time) dan meminimasi kelambatan rata-rata (Mean Lateness) pada sebuah prosessor tunggal yang harus mengerjakan sekumpulan pekerjaan.

Contoh Soal 1:
Jadwalkan pekerjaan-pekerjaan berikut agar Mean Flow Time-nya minimum :
Pekerjaan 1 2 3 4 5 6 7 8
Waktu Pemrosesan (jam) 5 8 6 3 10 14 7 3

Dengan menggunakan aturan SPT, maka urutan pekerjaan yang paling awal dijadwalkan ialah 4, selanjutnya 8 dan berturut-turut 1,3,7,2,5,6.
Waktu Alir Rata-rata (Mean Flow Time) dari persamaan (3) dapat disederhanakan menjadi :

Fs = 1 [ n t {1} + (n-1) t {2} + … + 2 t {n-1} + t {n} ] (11)
n

Waktu alir rata-ratanya ialah :

F s =1/8 ((8x3)+(7x3)+(6x5) + (5x6) + (4x7) + (3x8) + (2x10) + (1x14))
=1/8(24+21+30+30+28+24+20+14)
= 23,875 jam.

Sumber :
David D. Bedworth dan James E. Bailey, Integrated Production Control System : Management, Analysis, Design, John Wiley and Sons, New York, 1982, Hal. 304-305.


Sebagai tambahan, aturan SPT juga akan meminimasi kelambatan rata-rata (mean lateness) sehingga mengakibatkan minimasi waktu menunggu rata-rata (Mean Waiting Time), rata-rata jumlah pekerjaan yang menunggu dalam jumlah antrian (Mean Task Waiting in the queue ) dan meminimasi persediaan barang setengah jadi ( In process inventory). Perhatikan contoh soal berikut :

Contoh soal 2 :
Jadwalkan pekerjaan – pekerjaan berikut agar mean latenessnya minimum :
Pekerjaan 1 2 3 4 5 6 7 8
Waktu Pemrosesan (jam) 5 8 6 3 10 14 7 3
Batas Waktu (Due Date) 15 10 15 25 20 40 45 50

Dengan menggunakan aturan SPT, maka urutan pekerjaan yang dihasilkan ialah 4-8-1-3-7-2-5-6. Kelambatan (lateness) dari penjadwalan di atas dapat dihitung sebagai berikut:

Pekerjaan 4 8 1 3 7 2 5 6
Saat Selesai(Completion Time) jam 3 6 11 17 24 32 42 56
Batas Waktu (Due Date) 25 50 15 15 45 10 20 40
Kelambatan (Lateness) -22 -44 -4 +2 -21 22 22 16

Kelambatan rata-ratanya adalah –3,625 jam.

Suatu hal yang harus diperhatikan ialah urutan. Jika pekerjaan-pekerjaan cenderung muncul terus menerus, aturan SPT akan cenderung menghindari pekerjaan dengan waktu pemrosesan yang lama/ panjang. Dengan kata lain, aturan ini akan lebih mementingkan pekerjaan-pekerjaan dengan waktu yang lebih singkat, walaupun pekerjaan-pekerjaan itu muncul belakangan. Karenanya, aturan SPT akan menyebabkan waktu alir rata-rata (Mean Flow Time) yang lebih panjang untuk pekerjaan dengan waktu pemrosesan yang panjang.. Solusi untuk masalah di atas ialah dengan cara mengamati secara periodik untuk pekerjaan-pekerjaan yang telah menunggu terlalu lama. Pekerjaan yang telah menunggu lama harus dijadwalkan segera sebelum muncul lagi pekerjaan dengan waktu yang lebih pendek. Atau cara lainnya ialah dengan menganggap sekumpulan pekerjaan sebagai satu kelompok dan menjalankan pekerjaan-pekerjaan tersebut seluruhnya sebelum pekerjaan-pekerjaan baru muncul yang akan dikelompokkan ke dalam kelompok berikutnya.

2. ATURAN BOBOT SPT
Suatu variasi dari aturan SPT adalah aturan penjadwalan dengan menggunakan bobot. Aturan ini digunakan jika tingkat kepentingan dan prioritas tiap pekerjaan bervariasi. Semakin besar bobotnya, maka semakin besar pula prioritasnya. Dengan membagi waktu pemrosesan (Processing Time) dengan bobotnya, terdapat kecenderungan pergeseran pekerjaan yang lebih penting akan dijadwalkan terlebih dahulu.. Dalam hal ini, Rata-rata Waktu Alir Terbobot (Weighted Mean Flow Time) dapat dihitung dengan menggunakan persamaan :
n
 w i F i (12)
F w, s = i = 1
n
 w i
i = 1

Pada saat menjadwalkan n pekerjaan pada sebuah prosesor tunggal di mana tiap pekerjaan i memiliki bobot relatif w , maka rata-rata waktu alir terbobot (Weighted Mean Flow Time) akan diminimasi dengan cara mengurutkan berdasarkan aturan berikut :

t [ 1 ] t [ 2 ] t [ n ]
< < . . . < ( 13 )
w [ 1 ] w [ 2 ] w [ n ]

Contoh Soal 3 :
Pekerjaan 1 2 3 4 5 6 7 8
Waktu Pemrosesan 5 8 6 3 10 14 7 3
Bobot Relatif 1 2 3 1 2 3 2 1
t/w 5 4 2 3 5 4.7 3.5 3

Urutan yang dihasilkan ialah 3-4-8-7-2-6-5-1. Waktu alir rata-rata ialah 27 jam (bandingkan dengan SPT yang hanya menghasilkan 23,875 jam). Sementara itu Waktu Alir Rata-rata Terbobot ialah 27,47 jam.

Sumber :
David D. Bedworth dan James E. Bailey, Integrated Production Control System : Management, Analysis, Design, John Wiley and Sons, New York, 1982, Hal. 306 .

3. ATURAN EARLIEST DUE DATE (EDD)
Aturan lainnya yang perlu diketahui ialah aturan EDD. Aturan ini menyebutkan bahwa pengurutan pekerjaan berdasarkan Batas Waktu (Due Date) tercepat. Pekerjaan dengan saat jatuh tempo paling awal harus dijadwalkan terlebih dahulu daripada pekerjaan dengan saat jatuh tempo belakangan.
Aturan ini bertujuan untuk meminimasi kelambatan maksimum (Maximum Lateness) atau meminimasi ukuran kelambatan maksimum (Maksimum Tardiness) suatu pekerjaan. Buruknya, aturan ini akan menyebabkan jumlah pekerjaan yang terlambat akan menjadi besar serta akan menambah ukuran kelambatan rata-rata (Mean Tardiness). Perhatikan contoh soal di bawah ini dan bandingkan hasil penjadwalannya dengan contoh soal 2 di bagian awal.

Contoh Soal 4 :
Jadwalkan pekerjaan-pekerjaan berikut agar Maximum Lateness-nya minimum :
Pekerjaan 1 2 3 4 5 6 7 8
Waktu Pemrosesan (jam) 5 8 6 3 10 14 7 3
Batas Waktu (Due Date) 15 10 15 25 20 40 45 50

Dengan menggunakan aturan SPT, maka urutan pekerjaan yang dihasilkan ialah 4-8-1-3-7-2-5-6. Jumlah pekerjaan yang terlambat ialah 4 (empat) dengan rata-rata kelambatan sebesar –3,625 jam dan maksimum kelambatan sebesar 22 jam. Dengan menggunakan aturan EDD, maka urutan penjadwalan pekerjaannya ialah 2-1-3-5-4-6-7-8.
Berdasarkan aturan EDD, dapat dihitung kelambatan pekerjaan-pekerjaan berikut:


Pekerjaan 2 1 3 5 4 6 7 8
Waktu Pemrosesan (jam) 8 5 6 10 3 14 7 3
Waktu Alir (jam) 8 13 19 29 32 46 53 56
Batas Waktu (Due Date) 10 15 15 20 25 40 45 50
Kelambatan (Lateness) -2 -2 4 9 7 6 8 6

Dengan menggunakan aturan EDD, jumlah pekerjaan yang terlambat bertambah dari 4 (empat ) menjadi 6 (enam) dengan rata-rata kelambatan sebesar –3,625 jam menjadi 4,5 jam. Walaupun demikian, kelambatan maksimum dapat ditekan dari 22 jam menjadi tinggal 9 jam.

Sumber :
David D. Bedworth dan James E. Bailey, Integrated Production Control System : Management, Analysis, Design, John Wiley and Sons, New York, 1982, Hal. 308.

4. ALGORITME HODGSON
Misalkan penalty atas pekerjaan-pekerjaan yang terlambat sama untuk seluruh pekerjaan dan tak tergantung pada seberapa lama tingkat keterlambatannya.. Aturan EDD akan memberikan hasil yang terbaik jika dan hanya jika terdapat hanya satu atau nol pekerjaan yang terlambat. Jika terdapat lebih dari satu pekerjaan terlambat, algoritme heuristik yang dikembangkan oleh Hodgson akan memberikan hasil yang lebih baik. Algoritma Hodgson adalah sebagai berikut :

Step 1 : Susun seluruh pekerjaan dengan menggunakan aturan EDD. Jika hanya nol atau satu pekerjaan yang terlambat (memiliki ukuran kelambatan yang positif), maka stop. Selain dari itu, ke step kedua.

Step 2 : Mulailah dari awal urutan yang dihasilkan aturan EDD dan lihatlah jadwal tersebut sampai akhir. Tandai pekerjaan pertama yang terlambat. Jika tidak ada pekerjaan berikutnya yang terlambat, ke step 4 lainnya ke step 3.

Step 3 : Misalnya pekerjaan yang terlambat tersebut berada di posisi ke-1 dalam urutan penjadwalan yang dihasilkan. Periksa pekerjaan – pekerjaan lainnya yang tidak terlambat dan berada di posisi sebelum posisi ke-i . Tandai pekerjaan dengan waktu pemrosesan terbesar. Pindahkan pekerjaan itu dan ulangi lagi perhitungan waktu penyelesaian seluruh pekerjaan setelah pemindahan. Kembali ke step 2.

Step 4 : Letakkan semua pekerjaan yang dipindahkan tadi dalam urutannya semula di akhir penjadwalan.

Untuk menggambarkan algoritme di atas, perhatikan data pada contoh-contoh soal sebelumnya.

Contoh Soal 5 :
Jadwalkan pekerjaan-pekerjaan berikut agar jumlah pekerjaan yang terlambatnya minimum.
Pekerjaan 1 2 3 4 5 6 7 8
Waktu Pemrosesan (jam) 5 8 6 3 10 14 7 3
Batas Waktu (Due Date) 15 10 15 25 20 40 45 50

Dengan menggunakan aturan EDD (Step 1), maka urutan penjadwalan pekerjaannya ialah 2-1-3-5-4-6-7-8, dengan enam pekerjaan yang terlambat (lihat lagi contoh soal 4). Kita beranjak ke step 2 dan 3 seperti berikut ini.
Pekerjaan 2 1 3 5 4 6 7 8
Waktu Pemrosesan (jam) 8 5 6 10 3 14 7 3
Waktu Penyelesaian 8 13 19 29 32 46 53 56
Batas Waktu (Due Date) 10 15 15 20 25 40 45 50
Kelambatan -2 -2 4 9 7 6 8 6

Pekerjaan nomor 3 adalah pekerjaan pertama yang terlambat. Pekerjaan 2 memiliki waktu pemrosesan terpanjang dari 3 pekerjaan pertama, maka pekerjaan itu disisihkan. Hasilnya ialah :
Pekerjaan i 1 3 5 4 6 7 8
Waktu Pemrosesan (jam) 5 6 10 3 14 7 3
Waktu Penyelesaian 5 11 21 24 38 45 48
Batas Waktu (Due Date) 15 15 20 25 40 45 50
Kelambatan -10 -4 1 -1 -2 0 -2

Pekerjaan 5 adalah pekerjaan pertama yang terlambat. Dan dari tiga pekerjaan yang berada pada urutan pertama, kedua dan ketiga; pekerjaan 5 memiliki waktu pemrosesan terpanjang. Oleh karenanya pekerjaan 5 disisihkan. Hasilnya ialah :

Pekerjaan i 1 3 4 6 7 8
Waktu Pemrosesan (jam) 5 6 3 14 7 3
Waktu Penyelesaian 5 11 14 28 35 38
Batas Waktu (Due Date) 15 15 25 40 45 50
Kelambatan -10 -4 -11 -12 -10 -12

Tidak ada satu pun juga pekerjaan yang terlambat. Oleh karenanya pekerjaan 2 dan 5 yang tadi disisihkan ditambahkan lagi di akhir jadwal yang terbentuk. Dengan menggunakan aturan SPT untuk penambahan kedua pekerjaan itu ke dalam jadwal, didapatkan urutan 1-3-4-6-7-8-2-5. Penjadwalan tersebut menghasilkan :

Pekerjaan
i Waktu Penyelesaian
ci Batas Waktu
di Kelambatan
Li
1 5 15 -10
3 11 15 -4
4 14 25 -11
6 28 40 -12
7 35 45 -10
8 38 50 -12
2 46 10 36
5 56 20 36

Algoritma Hodgson ini menghasilkan jumlah pekerjaan yang terlambat sebesar dua pekerjaan. Kelambatan rata-rata 1,625 jam (bandingkan dengan hasil aturan SPT yang menghasilkan kelambatan –3,626 jam). Kelambatan maksimum ialah sebesar 36 jam ( bandingkan dengan aturan EDD yang menghasilkan kelambatan maksimum sebesar 9 jam ).
Sumber :
David D. Bedworth dan James E. Bailey. Integrated Production Control System : Management, Analysis, Design, John Wiley and Sons, New York, 1982, Hal. 309-310.
5. ALGORITMA WILKERSON IRWIN

Tujuan yang paling sukar untuk dipenuhi adalah minimasi kelambatan rata-rata. Hal ini terjadi jika penalty atas kelambatan suatu pekerjaan sama besarnya dan berbanding lurus dengan lamanya kelambatan. Tidak ada metode yang mudah untuk menyelesaikan masalah ini. Dalam situasi-situasi khusus terdapat aturan sebagai berikut :

a. Jika terdapat hanya satu atau nol pekerjaan yang terlambat, maka aturan EDD akan meminimasi ukuran kelambatan rata-rata (mean tardiness).
b. Jika seluruh pekerjaan memiliki batas waktu (due date) yang sama, atau jika aturan SPT menghasilkan seluruh pekerjaan terlambat; maka aturan SPT akan meminimasi ukuran kelambatan rata-rata (mean tardiness).
c. Aturan minimasi kelonggaran (Slack Time) juga memiliki kecenderungan untuk meminimasi ukuran kelambatan rata-rata, tetapi tidak dapat diterapkan untuk sebuah kasus.

Untuk itu Wilkerson Irwin mengemukakan satu algoritma heuristik yang dapat meminimasi ukuran kelambatan rata-rata.

Algoritma Wilkerson Irwin dapat dijelaskan sebagaimana uraian di bawah ini :

Step 1 : Susun urutan pekerjaan berdasarkan aturan EDD. Bandingkan dua pekerjaan pertama di daftar tersebut.. Sebut kedua pekerjaan ini sebagai a dan b. Jika max (ta dan tb) < max (da, db), tempatkan pekerjaan a ke kolom alpha dan pekerjaan b ke kolom betha. Jika kondisi di atas tidak terpenuhi, maka tempatkan pekerjaan dengan waktu pemrosesan terpendek ke kolom alpha dan lainnya ke kolom betha. Pekerjaan ketiga dalam urutan EDD itu ditempatkan dalam kolom gamma.

Step 2: Bandingkan betha dan gamma untuk melihat apakah betha akan dapat dijadwalkan bersama dengan alpha. Jika t beta < t gamma atau jika F alpha + max { t betha, t gamma} < max {d betha , d gamma}, pindahkan pekerjaan di kolom beta ke kolom alpha dan pekerjaan gamma ke kolom beta. Pekerjaan selanjutnya di dalam daftar EDD akan menjadi ditempatkan di kolom gamma. Jika tidak ada lagi pekerjaan di dalam daftar EDD, tambahkan pekerjaan di kolom alpha dan beta ke dalam jadwal dan stop. Jika tidak ulangi step 2 (dua). JIKA KEDUA KONDISI YANG DISEBUTKAN DI ATAS TAK TERPENUHI maka kerjakan step 3 (tiga).

Step 3: Kembalikan pekerjaan di kolom beta ke dalam daftar EDD dan pindahkan pekerjaan di kolom Gamma ke dalam kolom beta. Bandingkan alpha dan beta untuk melihat apakah beta akan dijadwalkan bersama dengan alpha.. Jika t alpha < t beta atau jika F alpha – t alpha + max {t alpha, t beta } < max { d alpha , t beta } pindahkan pekerjaan di kolom beta ke kolom alpha dan pilih dua pekerjaan berikutnya dalam daftar EDD sebagai beta dan gamma yang baru. Ulangi step 2 ( dua ). JIKA KONDISI DI ATAS TIDAK DIPENUHI maka kerjakan Step 4 ( empat ).

Step 4: Pindahkan pekerjaan di kolom alpha kembali ke daftar EDD dan tempatkan pekerjaan terakhir yang masuk ke dalam jadwal sebagai alpha yang baru. Kembali ke Step 3 (tiga ).
Jika tidak ada pekerjaan yang telah dijadwalkan, letakkan beta ke dalam jadwal dan dua pekerjaan pertama dalam daftar EDD menjadi beta dan gamma. Kembali ke step 2 (dua).

Untuk aplikasi Algoritme Wilkerson – Irwin perhatikan contoh soal 6 berikut ini :
Contoh Soal 6 :

Jadwalkan pekerjaan-pekerjaan berikut agar ukuran kelambatan rata-rata (mean tardiness-nya) minimum !

Pekerjaan 1 2 3 4 5 6 7 8
Waktu Pemrosesan (jam) 5 8 6 3 10 14 7 3
Batas Waktu (Due Date) 15 10 15 25 20 40 45 50

Dengan menggunakan aturan EDD, maka urutan penjadwalan pekerjaannya ialah 2-1-3-5-4-6-7-8.


Step 1 : Pekerjaan a ialah 2, pekerjaan b ialah 1.
Max { t a , t b } = Max { t 2 , t 1 } = Max { 8 , 5 } = 8
Max { d a , d b } = Max { d 2 , d 1 } = Max { 10 , 15 } = 15

Karena 8 < 15 maka pekerjaan a ( = pekerjaan 2 ) diletakkan di kolom alpha dan pekerjaan b (= pekerjaan 1) diletakkan di kolom beta. Pekerjaan selanjutnya ( = pekerjaan 3 ) diletakkan di kolom gamma.

Step – step selanjutnya perhatikan tabel berikut :

Step    Kondisi 1 Kondisi 2
2 2 1 3 8 + 6 < 15 Y 5 < 6 Y
2 1 3 5 13 + 10 < 20 T 6 < 10 Y
2 3 5 4 19 + 10 < 25 T 10 < 3 T
3 3 4 - 19 – 6 + 6 < 25 Y 6 < 3 T
2 4 5 6 22 + 14 < 40 Y 10 < 14 Y
2 5 6 7 32 + 14 < 45 T 14 < 7 T
3 5 7 - 32 – 10 – 10 < 45 Y 10 < 7 T
2 7 6 8 39 + 14 < 50 T 14 < 3 T
3 7 8 - 39 – 7 + 7 < 50 Y 7 < 3 T

Urutan penjadwalan = 2-1-3-4-5-7-8-6.

Catatan : Kondisi Pengujian ialah sebagai berikut .


Step 2 Step 3

Hasil penjadwalan di atas memberikan ukuran kelambatan sebagai berikut :



Pekerjaan
i Waktu Penyelesaian
c i Batas Waktu
d i Ukuran Kelambatan
T i
2 8 10 0
1 13 15 0
3 19 15 4
4 22 25 0
5 32 20 12
7 39 45 0
8 42 50 0
6 56 40 16

Yang akan menghasilkan ukuran kelambatan rata-rata ( Tardiness) sebesar 4 jam, yang ternyata ialah harga paling minimum. Dari seluruh 40.320 kemungkinan kombinasi urutan ke delapan pekerjaan itu, hanya empat yang memiliki ukuran kelambatan rata-rata sebesar 4 jam.
Hasil tersebut di atas perlu pula dibandingkan dengan metode lain. Metode yang paling mudah dan sering digunakan ialah aturan Shortest Slack Time. Kelonggaran (Slack) didefinisikan sebagai selisih antara batas waktu ( due date) dengan waktu pemrosesan (processing time). Hasil perhitungan kelonggaran disajikan berikut ini :

Pekerjaan
i Waktu Penyelesaian
c i Batas Waktu
d i Kelonggaran
SL i
1 5 15 10
2 8 10 2
3 6 15 9
4 3 25 22
5 10 20 10
6 14 40 26
7 7 45 38
8 3 50 47

Urutan penjadwalan yang dihasilkan ialah 2-3-1-5-6-4. Urutan ini akan menghasilkan rata-rata ukuran kelambatan (Mean Tardiness) sebesar 5 jam.
Jelas sekali bahwa algoritme Wilkerson – Irwin menghasilkan solusi yang lebih layak dibandingkan dengan Shortest Slack Time. Tetapi perlu dikaji ulang solusi algoritme Wilkerson – Irwin ini dengan menggunakan sebuah test sederhana. Hitung periode kelambatan tiap pekerjaan (waktu antara batas waktu pekerjaan tersebut [ Due Date] dengan saat penyelesaian pekerjaan itu). Perhatikan periode kelambatan tersebut. Jika periode kelambatan itu tidak saling tumpang tindih ( dalam arti kata : tidak ada dua pekerjaan yang terlambat pada saat yang bersamaan ), maka solusi yang dihasilkan akan meminimasi ukuran kelambatan (Mean Tardiness) rata-rata.

Sumber :
David D. Bedworth dan James E. Bailey, Integrated Production Control System : Management, Analysis, Design, John Wiley and Sons, New York, 1982, Hal. 311-314.

KESIMPULAN
Dalam tulisan ini kita telah mendiskusikan masalah penjadwalan n pekerjaan di satu prosesor. Semua pekerjaan diassumsikan diketahui di awal periode penjadwalan, seluruh waktu pemrosesan diketahui dan dianggap tak tergantung dari urutan yang dipilih.

Tujuan menjadwalkan pekerjaan dapat bermacam-macam. Tujuan menekan makespan dapat dicapai dengan seluruh metode yang telah disebutkan, karena makespan tidak tergantung dari urutan pekerjaan yang dihasilkan dalam jadwal. Tujuan penjadwalan lainnya dan teknik yang sesuai untuk menghasilkan solusi penjadwalan yang memenuhi tujuan tersebut ialah :
a. Minimasi Waktu Alir Rata-rata (Mean Flow Time) ialah dengan menggunakan aturan SPT.
b. Minimasi Waktu Alir Rata-rata Terbobot (Weighted Mean Flow Time) ialah dengan menggunakan aturan WSPT.
c. Minimasi Kelambatan Rata-rata (Mean Lateness) ialah dengan menggunakan aturan SPT.
d. Minimasi Ukuran Kelambatan Maksimum (Maximum Tardiness) ialah dengan menggunakan aturan EDD.
e. Minimasi Jumlah Pekerjaan Yang Terlambat ialah dengan menggunakan Algoritme Hodgson.
f. Minimasi Ukuran Kelambatan Rata-rata (Mean Tardiness) dapat menggunakan aturan Shortest Slack Time atau Algoritme Wilkerson – Irwin.

SOAL LATIHAN
PEKERJAAN WAKTU PROSES BOBOT RELATIF BATAS WAKTU
DATA A
1 1 3 10
2 10 2 20
3 5 1 15
4 2 1 10
5 8 4 10
6 7 2 25
7 8 3 15
8 4 3 25
9 3 2 10
10 6 4 20
DATA B
1 5 3 30
2 6 2 30
3 11 1 40
4 8 3 80
5 12 2 100
6 14 1 70
7 7 3 90
8 10 2 80
9 6 1 40
10 12 3 90





PERTANYAAN:

Gunakan data A.
1. Cari jadwal dengan waktu alir rata-rata minimum. Berapa waktu alir rata-rata yang paling minimum tersebut ?
2. Cari jadwal yang meminimasi waktu alir rata-rata terbobot. Berapa waktu alir rata-rata terbobot jadwal tersebut ?
3. Hitung jadwal yang akan meminimasi kelambatan rata-rata.
4. Hitung jadwal yang akan meminimasi kelambatan maksimum.
5. Hitung jadwal yang akan meminimasi jumlah pekerjaan yang terlambat.
6. Hitung jadwal dengan aturan “ Kelonggaran Terkecil “ ( Minimum Slack ).
7. Gunakan Algoritme Wilkerson Irwin untuk meminimasi kelambatan rata-rata. Apakah urutan penjadwalan yang dihasilkan benar-benar meminimasi kelambatan rata-rata.
8. Bandingkan kelambatan rata-rata, waktu terlambat maksimum, dan jumlah pekerjaan yang terlambat dari soal 4,5 dan 6.


Gunakan Data B :
Misalkan waktu pemrosesan dalam data B ialah perkiraan menit eksekusi untuk sepuluh program komputer. Tujuan si programmer ialah meminimasi waktu untuk menjalankan program tersebut.
1. Berdasarkan hasil yang anda peroleh dari soal di atas, misalnya tingkat kepentingan program-program itu dapat dikategorikan menjadi tiga. Dengan aturan apakah penjadwalan program harus dilakukan dan bagaimanakah jadwal yang akan dihasilkan.
2. Misalkan pekerjaan di data B ialah prakiraan waktu kerja seorang drafter. Waktu pemrosesan mencerminkan besarnya usaha si drafter ( dalam satuan hari ). Misalnya terdapat kelambatan sebesar $ 100 per hari kelambatan setelah batas waktu ( due date ). Bagaimana pekerjaan harus dijadwalkan agar meminimasi total ongkos ?
3. Misalnya setiap komponen si drafter tersebut meminta agar seluruh pekerjaan diselesaikan segera, bagaimanakah anda menjadwalkan pekerjaan yang harus dilakukan.

13 Mei 2008

TEKNIK DALAM PENJADWALAN PROYEK

TEKNIK DALAM PENJADWALAN PROYEK

Pengendalian proyek mencakup:
 Pengendalian terhadap sumber daya, biaya, mutu, dan anggaran.
 Bagaimana relokasi sumber daya, atau anggaran harus dilakukan dalam rangka meminimalkan biaya proyek atau untuk menjaga agar jadwal penyelesaian proyek bisa dipenuhi.

Suatu proyek yang dapat diselesaikan tepat waktu atau lebih cepat daripada jadwal yang ditetapkan akan memberikan banyak keuntungan bagi perusahaan melalui penghematan sumber daya yang digunakan, seperti upah tenaga kerja, biaya sewa peralatan dan biaya – biaya over head (misalnya bunga bank, asuransi, dan administrasi).

Teknik yang populer dalam penjadwalan proyek dapat dikelompokkan ke dalam dua metoda, yaiu bagan balok dan perencanaan jaringan kerja.

Bagan Balok [Gantt Chart]
• Diperkenalkan oleh Henry L. Gantt pada tahun 1916.
• Bagan ini menggambarkan elemen – elemen kegiatan dari suatu proyek, dalam susunan vertikal, dan kronologis waktu pelaksanaan proyek, dalam arah horizontal, dengan menggunakan skala waktu yang proporsional.

Contoh:
Misalnya, suatu perusahaan akan memindahkan kantor pemasarannya ke suatu lokasi yang baru. Elemen kegiatan proyek beserta estimasi waktunya sebagai berikut:

Elemen Kegiatan Kegiatan Pendahulu Estimasi Waktu (hari)
A. Menyusun rencana tata letak - 4
B. Memilih dan memesan furniture A 12
C. Memasang sistem komunikasi A 8
D. Menata furniture B 4
E. Mengangkut barang-barang C 4
F. Menata barang-barang D, E 6
G. Pemindahan personel F 2

Dalam bentuk Gantt Chart, jadwal kegiatan proyek tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:

0 4 8 12 16 20 24 28
A. Menyusun rencana tata letak

B. Memilih dan memesan furniture
C. Memasang sistem komunikasi
D. Menata furniture
E. Mengangkut barang-barang
F. Menata barang-barang
G. Pemindahan personel

Kelebihan:
• Metoda ini relatif sederhana, mudah dimengerti dan mudah pembuatannya.
• Mudah untuk digunakan memantau perkembangan proyek, bagan balok meberikan kemudahan bagi manajer untuk mengetahui kegiatan apa yang sudah selesai, sedang berjalan, atau belum dilaksanakan. Dengan membandingkan antara keadaan nyata dan rencana, dapat diketahui apakah progres dari proyek yang bersangkutan sesuai jadwal atau mengalami keterlambatan.

Kelemahan:
 Tidak secara langsung dapat menunjukkan hubungan antar kegiatan, sehingga apabila suatu kegiatan mengalami penundaan maka akan sulit untuk mengetahui kegiatan berikut apa yang akan terpengaruh, dan bagaimana dampaknya terhadap waktu selesainya proyek.
 Tidak dapat menunjukkan kegiatan apa saja yang merupakan kegiatan kritis.

PERENCANAAN JARINGAN KERJA [Network Planning]
Model yang produknya berupa informasi mengenai kiegiatan-kegiatan yang ada dalam diagram jaringan kerja yang bersangkutan.
Dengan perencanaan jaringan kerja dapat dilakukan analisis terhadap jadwal waktu selesainya proyek, masalah yang mungkin timbul kalau terjadi kelambatan, probabilitas selesainya proyek, biaya yang diperlukan dalam rangka mempercepat penyelesaian proyek dan sebagainya.
Pendekatan Dalam Menggambarkan Diagram Jaringan Kerja









n = Nomor Kejadian
x = Lama Aktivitas
A = Nama Aktivitas
ES = Waktu mulai paling awal [Earliest Start]
LS = Waktu mulai paling akhir [Latest Start]
EF = Waktu selesai paling awal [Earliest Start]
LF = Waktu selesai paling akhir [Latest Start]



Gambar 1. Hubungan peristiwa kegiatan pada AOA










Gambar 2. Hubungan peristiwa kegiatan pada AON


Dua teknik perencanaan jaringan kerja yang populer adalah CPM (Critical Path Method) yang diperkenalkan oleh JE Kelly dari Remington Rand dan MR Walker dari duPont pada tahun 1957 dan PERT (Program Evaluation Review Technique) yang dikembangkan oleh US Navy bekerja sama dengan Booz, Allen dan Hamilton pada tahun 1958.
Keduanya memvisualisasikan proyek dalam bentuk diagram jaringan kerja (network diagram). CPM dan PERT banyak digunakan dalam pengendalian proyek, misalnya dalam kegiatan militer, konstruksi, intalasi, pabrikasi dan pengairan.
Beberapa definisi dan simbol dalam analisis jaringan kerja adalah :


Lingkaran atau kejadian (permulaan atau akhir dari suatu pekerjaan atau kegiatan)

Tanda panah atau beberapa tipe kegiatan (aktivitas) yang dibutuhkan yang biasanya mempunyai beberapa acuan dalam suatu daerah waktu.

Kegiatan semu (merancang suatu keperluan waktu yang diarahkan tetapi kegiatan tersebut tidak menggunakan waktu dan sumber daya).
Jaringan kerja Suatu susunan kejadian dan kegiatan yang menggambarkan penentuan arah waktu dari suatu susunan proyek

Beberapa ketergantungan antar aktivitas:







Gambar 3. Kegiatan B mulai setelah A selesai












Gambar 4. Kegiatan B dan C dapat dimulai setelah kegiatan A selesai














Gambar 5. Kegiatan C dan D dapat dimulai setelah kegiatan A dan B
selesai


















Gambar 6. Hubungan ketergantungan dengan memakai dummy
Contoh Penerapan Diagram Jaringan Kerja Dalam Proyek
PT XYZ ingin meluncurkan produk baru di pasaran. Produk itu dibeli dari perusahaan manufaktur lain. Yang dilakukan PT XYZ adalah mengepaknya dan menjual pada distributor di berbagai wilayah. Riset pasar telah menghasilkan volume yang diharapkan dan tenaga sales yang dibutuhkan. Perusahaan ini ingin penempatan produk secepatnya dilakukan di pasar.




Langkah yang dilakukan:
1. Penetapan tujuan
Manajemen telah menentukan agar peluncuran produk dilakukan secepatnya. Manajer proyek memutuskan untuk mengakhiri proyek pada akhir bulan Oktober 2006 setelah dimulai pada bulan April 2006.
2. Pekerjaan-pekerjaan yang dilakukan.
a. Dirikan kantor penjualan: sewa tenaga manajer penjualan
b. Cari tenaga penjualan: manajer penjualan akan merekrut sales
c. Melatih [training] sales: sales dilatih untuk menjual barang ke distributor.
d. Pilih beberapa agen periklanan: manajer penjualan memilih agen yang tepat untuk mempromosikan produk baru.
e. Merencanakan strategi periklanan: kantor penjualan dan agen merancang cara periklanan.
f. Pelaksanaan pengiklanan: agen melakukan promosi ke pelanggan yang potensial.
g. Merancang bentuk pembungkus/pak yang menarik bagi pembeli.
h. Set-up fasilitas untuk pengepakan.
i. Pak barang-barang dari perusahaan manufaktur.
j. Pilih distributor: manajer penjualan akan memilih distributor mana yang akan melakukan jual beli dengan para sales.
k. Penjualan ke distributor: terima pesanan dari para distributor.
l. Kirim barang ke distributor sesuai pesanan dan kuota yang ada.

Tentukan ketergantungan antar kegiatan dan waktu tiap aktivitas.
Naman Kegiatan Deskripsi Kegiatan Pendahulu Waktu
[hari]
A Rancang pak - 2
B Pesan barang - 13
C Dirikan kantor penjualan - 6
D Set-up fasilitas pengepakan A 10
E Pilih distributor C 9
F Rekrut tenaga penjualan [sales] C 4
G Training tenaga penjualan [sales] F 7
H Pilih agen iklan C 2
I Rencanakan strategi promosi H 4
J Lakukan promosi I 10
K Pak barang-barang B, D 6
L Penjualan ke distributor E, G 6
M Kirim barang K, L 6

Latihan:
1. Buatlah digram Gantt Chart dan jaringan kerja dengan informasi sebagai berikut:

Kegiatan Kegiatan Pendahulu Waktu
A - 5
B - 7
C A 5
D A, B 6
E A, B 8
F C 4
G D, F 9
H E, G 10


2. Buatlah digram Gantt Chart dan jaringan kerja dengan informasi sebagai berikut:

Kegiatan Waktu
A-B 6
A-C 4
C-B 3
C-D 3
C-E 2
B-D 0
B-E 5
D-F 4
D-E 1
E-F 4

Operations Research

Operations Research


Operations Research yang berasal dari Inggris merupakan suatu hasil studi operasi – operasi militer selama perang dunia II. Setelah perangs selesai, potensi komersialnya segera disadari dan pengembangannya telah menyebar dengan cepat di Amerika Serikat. Kini, OR banyak diterapkan untuk menyelesaikan masalah-masalah manajemen, namun tidak jarang perusahaan – perusahaan yang melaporkan kegagalan dalam penerapan OR karena bermacam-macam alasan.


Programma Linier
Levin et. al (1995) menyatakan bahwa programma linier merupakan teknik matematika untuk mendapatkan alternatif penggunaan terbaik (optimum) atas sumber – sumber organisasi.
Dunn (1981) menyatakan bahwa programma linier merupakan penyajian teoritis secara sederhana mengenai hubungan antara dua atau lebih variabel bebas (dinamakan tujuan), dengan menggunakan kendala (batas atas dan batas bawah) nilai – nilai dari variabel tersebut.
Welch dan Commer (1983) menyatakan programma linier merupakan teknik untuk menghitung kombinasi optimum dari sumber – sumber tertentu agar dapat tercapai tujuan yang semaksimal mungkin sebagaimana yang telah ditetapkan sebelumnya.
Levin et. al (1995), menyatakan penggunaan programma linier sebagai teknik pengambilan keputusan menggunakan tiga tahap proses, yaitu :
1. Perumusan masalah; mengumpulkan informasi yang sesuai, mempelajari pertanyaan apa yang harus dijawab, dan membuat permasalahan ke dalam bentuk programma linier
2. Pemecahan masalah; mencari pemecahan optimal programma linier
3. Interpretasi dan penerapan solusi; pemeriksaan bahwa solusi dari programma linier sudah benar (dan bila tidak, harus kembali ke tahap 1 dan memperbaiki rumusannya), mengerjakan analisa sensitivitas yang cocok dan menerapkan ke dalam praktek.

Levin et. al (1995) menyatakan bahwa persyaratan utama dalam pemecahan masalah programma linier adalah :
1. Memiliki tujuan. Umumnya tujuan utama dari sebuah programma linier berupa bentuk memaksimasi keuntungan (laba) dan atau meminimasi biaya. Disadari bahwa bentuk trend (kecenderungan) keuntungan dan biaya tidak selalu berhubungan secara linier dengan volume penjualan atau jumlah produksi.
2. Harus ada alternatif tindakan yang salah satu darinya akan mencapai tujuan. Sebagai contoh, suatu perusahaan harus mengalokasikan kapasitasnyadalam suatu bentuk perbandingan, misalnya 50:50, 25:75, to:30 atau dalam angka perbandingan lainnya.
3. Sumber yang diperhitungkan dalam model merupakan persediaan terbatas. Misalnya sebuah perusahaan mempunyai jumlah mesin, sumber daya manusia, waktu, dan sumber daya – sumberdaya lainnya yang terbatas; dalam perusahaan konveksi fenomena ini dapat diamati melalui sebuah fungsi sebab-akibat, untuk perusahaan yang membuat dua produk, celana dan baju; semakin banyak waktu digunakan untuk membuat celana semakin sedikit baju yang dapat dibuat.
4. Tujuan dan segenap keterbatasannya dinyatakan dalam bentuk persamaan atau pertidaksamaan matematika (formulasi matematika), dan harus ada persamaan atau pertidaksamaan linier.


ASUMSI PROGRAMMA LINIER
Untuk dapat menyelesaikan pemecahan masalah programma linier terdapat beberapa asumsi /persyaratan utama yang harus dipenuhi seperti yang dikemukakan Priyarsono (1999), Levin et. al. (1992) dan Supranto (1991) yaitu :
1. Fungsi objektif harus didefinisikan secara jelas dan dinyatakan sebagai fungsi objektif yang linear.
2. Harus ada alternatif tindakan/pemecahan untuk dipilih menjadi yang terbaik.
3. Sumber dan aktivitas yang diperhitungkan dalam model mempunyai jumlah terbatas (finiteness).
4. Tujuan dan segenap keterbatasannya dinyatakan dalam bentuk persamaan atau pertidaksamaan matematika (formulasi matematika), dan harus ada persamaan atau pertidaksamaan linier.
5. Sumbangan tiap kegiatan terhadap nilai fungsi tujuan Z diassumsikan sebanding (proporsional) dengan taraf kegiatan xj, sebagaimana terungkap pada suku cjxj dalam fungsi tujuan. Demikian pula suku aijxj dalam kendala, sumbangan tiap kegiatan terhadap kendala proporsional dengan taraf kegiatan tersebut.
6. Sumber-sumber dan aktivitas mempunyai sifat dapat dibagi (divisibilitas).
7. Sumber-sumber dan aktivitas mempunyai sifat dapat ditambahkan (aditivitas)
8. Variabel keputusan harus positif, tidak boleh negatif (Xj > 0, untuk semua j).
9. Model programming deterministic, artinya sumber dan aktivitas diketahui secara pasti (single-valued expectations).

Metoda Transportasi
Menurut Budiarto (1993), distribusi adalah kegiatan pemasaran yang berusaha memperlancar serta mempermudah penyampaian produk atau jasa dari produsen kepada konsumen, sehingga penggunaannya sesuai (jenis, jumlah, harga, tempat, dan saat) dengan yang diperlukan. Distribusi yang efektif akan memperlancar arus atau akses barang oleh konsumen sehingga mudah dalam memperolehnya.
Menurut Yamit (1996), metoda transportasi merupakan masalah khusus model linier program yang dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah distribusi, masalah lokasi pabrik, masalah penugasan, masalah skedul produksi dan lain sebagainya. Karena sifat khusus tersebut, metoda transportasi berusaha mendapatkan solusi dengan biaya minimum.
Menurut Yamit (1996), persyaratan yang harus dipenuhi untuk menyelesaikan berbagai masalah tersebut adalah:
1. Adanya tempat asal (i) yang dapat berupa pabrik, pekerja, kapasitas produksi dan lain sebagainya sesuai dengan masalah yang dihadapi.
2. Adanya tempat tujuan (j) yang dapat berupa lokasi gudang, lokasi pemasaran, jenis pekerjaan, skedul permintaan dan lain sebagainya.
3. Adanya biaya alokasi per unit (cij) dari tempat asal (i) ke tempat tujuan (j).
4. Adanya jumlah barang (ai) di tempat asal (i).
5. Adanya jumlah permintaan (bj) di tempat tujuan (j).
6. Adanya keseimbangan jumlah barang yang tersedia dengan jumlah permintaan.
Menurut Dimyati (2003), untuk menyelesaikan persoalan transportasi, harus dilakukan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Menentukan solusi fisibel basis awal
Ada tiga metoda yang biasa digunakan untuk menentukan solusi fisibel basis awal ini, yaitu:
a. Metoda pojok kiri atas-pojok kanan bawah (northwest corner). Caranya adalah sebagai berikut:
Mulai dari pojok kiri atas, alokasikan sebanyak x11 = min (a1, b1). Artinya: jika b1 < a1 maka x11 = b1 ; jika b1 > a1, maka x11 = a1. jika x11 = b1, maka selanjutnya akan mendapatkan giliran untuk dialokasikan adalah x12 sebesar min (a1 – b1, b2); jika x11 = a1 (atau b1 > a1), maka selanjutnya yang mendapat giliran untuk alokasi adalah x12 sebesar min(b1 – a1, a2). Demikian seterusnya.
b. Metoda ongkos terkecil (least cost)
Prinsip cara ini adalah pemberian prioritas pengalokasian pada tempat yang mempunyai satuan ongkos terkecil.
Langkah-langkah prosedur metoda ongos terkecil atau biaya minimum adalah:
1) Alokasi pertama dimulai dari sel yang memiliki biaya terkecil, pilih salah satu dari daerah asal ke daerah tujuan.
2) Pilih biaya terkecil berikutnya, demikian seterusnya sampai semuanya dapat dialokasikan pada tiap-tiap daerah asal.
3) Jika jumlah sel tidak memenuhi kriteria (m + n – 1), maka diperlukan sel basis semu atau dummy yang dipilih secara bebas dari sel nonbasis dengan jumlah alokasi nol.
c. Metoda pendekatan VAM (Vogel’s Approximation Method)
Metoda ini merupakan sebuah heuristik dari biasanya memberikan pemecahan awal yang lebih baik daripada metoda barat laut atau metoda ongkos terkecil. Pada kenyataanya, VAM umumnya menghasilkan pemecahan awal yang optimum, atau lebih dekat dengan optimum.
Langkah-langkah dari prosedur ini adalah sebagai berikut:
1) Evaluasi penalti untuk setiap baris (kolom) dengan mengurangkan elemen biaya terkecil dalam baris (kolom) dari elemen biaya terkecil berikutnya dalam baris (kolom) yang sama.
2) Identifikasi baris atau kolom dengan penalty terbesar, pilih nilai yang sama secara sembarang. Alokasikan sebanyak mungkin pada variabel dengan biaya terendah dari baris atau kolom yang dipilih. Sesuaikan penawaran dan permintaan dan silang baris atau kolom yang dipenuhi. Jika sebuah baris dan kolom dipenuhi secara bersamaan, hanya satu di antaranya yang disilang dan baris (kolom) sisanya diberikan penawaran (permintaan) nol. Setiap baris atau kolom dengan penawaran atau permintaan nol tidak boleh dipergunakan dalam penalty berikutnya (dalam langkah 3).
3) a) Bila tinggal 1 kolom atau baris yang belum disilang atau ditandai, berhentilah.
b) Bila tinggal 1 kolom atau baris dengan supply atau demand positif yang belum ditandai, tentukan variabel basis pada kolom atau baris dengan cara ongkos terkecil (least cost).
c) Bila semua baris dan kolom yang belum ditandai mempunyai supply dan demand sama dengan nol, tentukan variabel-variabel basis yang berharga nol dengan cara ongkos terkecil. Kemudian berhentilah.
d) Jika 3a, b dan c tidak terjadi, hitung kembali penalty untuk baris atau kolom yang belum ditandai. Kembali ke tahap 2.
2. Menentukan Solusi Optimal [MODI]
Metoda MODI dapat diringkas dalam langkah-langkah berikut :
a. Tentukan nilai-nilai Ui untuk setyiap baris dan nilai – nilai Vj untuk setiap kolom dengan menggunakan hubungan cij = Ui + Vj untuk semua variabel basis dan tetapkan nilai nol untuk U1.
b. Hitung perubahan biaya Cij, untuk setiap variabel non basis dengan menggunakan rumus Cij = cij – Ui – Vj.
c. Jika terdapat nilai Cij negatif, solusi belum optimal. Pilih variabel Xij dengan nilai Cij negatif terbesar sebagai entering variabel.
d. Alokasikan barang ke entering variabel Xij sesuai proses stepping stone. Kembali ke langkah 1.












Contoh Perhitungan

A. Metoda Solusi Awal

Metode North – West Corner

Ke
Dari 1 2 3 Supply
1 120 8 5 6 120

2 30 15 50 10 12 80

3 3 20 9 60 10 80

Demand 150 70 60 280

Total Biaya : [8 x 120] + [15 x 30] + [ 10 x 50] + [9 x 20] + [10 x 60] = 2690.


Metoda Least Cost

Ke
Dari 1 2 3 Supply
1 8 70 5 50 6 120

2 70 15 10 10 12 80

3 80 3 9 10 80

Demand 150 70 60 280

Total Biaya : [5 x 70] + [6 x 50] + [ 15 x 70] + [12 x 10] + [3 x 80] = 2.060



Metoda VAM

Iterasi 1:
Ke
Dari 1 2 3 Supply Penalty Cost Baris
1 8 5 6 120 1

2 15 10 12 80 2

3 80 3 9 10 80 6

Demand 150 70 60 280
Penalty Cost Kolom 5 4 4

Iterasi 2:
Ke
Dari 1 2 3 Supply Penalty Cost Baris
1 70 8 5 6 120 1

2 - 15 10 12 80 2

3 80 3 - 9 - 10 80 -

Demand 150 70 60 280
Penalty Cost Kolom - 5 6

Iterasi 3:
Ke
Dari 1 2 3 Supply
1 70 8 5 50 6 120

2 - 15 70 10 10 12 80

3 80 3 - 9 - 10 80

Demand 150 70 60 280

Total Biaya : [8 x 70] + [6 x 50] + [ 10 x 70] + [12 x 10] + [3 x 80] = 1.920

B. Metoda Solusi Optimal

1. Solusi awal : VAM

V1 = 8 V2 = 4 V3 = 6
Ke
Dari 1 2 3 Supply
U1 = 0 1 70 8 5 50 6 120

U2 = 6 2 15 70 10 10 12 80

U3 = -5 3 80 3 9 10 80

Demand 150 70 60 280

2. Solusi Optimal : MODI

X11 : U1 + V1 = C11 = 8
X13 : U1 + V3 = C13 = 6
X22 : U2 + V2 = C22 = 10
X23 : U2 + V3 = C23 = 12
X31 : U3 + V1 = C31 = 3

Misalkan : U1 = 0
Maka :
U1 + V1 = 8
0 + V1 = 8
V1 = 8

U3 + V1 = 3
U3 + 8 = 3
U3 = 3 – 8
U3 = -5

U1 + V3 = 6
V3 = 6

U2 + V3 = 12
U2 + 6 = 12
U2 = 6

U2 + V2 = 10
6 + V2 = 10
V2 = 4
Jadi :
U1 = 0
U2 = 6
U3 = -5

V1 = 8
V2 = 4
V3 = 6

Cij = cij – Ui – Vj

C12 = c12 – u1 – v2
C12 = 5 – 0 – 4 = + 1

C21 = c21 – U2 – V1
C21 = 15 – 6 – 8 = + 1

C32 = c32 – U3 – V1
C32 = 9 – (-5) – 4 = + 10

C33 = c33 – U3 – V3
C33 = 10 – (-5) – 6 = + 9

Karena Cij sudah positif semuanya, maka solusi sudah optimal!!!


Ke
Dari 1 2 3 Supply
1 70 8 5 50 6 120

2 - 15 70 10 10 12 80

3 80 3 - 9 - 10 80

Demand 150 70 60 280

Total Biaya : [8 x 70] + [6 x 50] + [ 10 x 70] + [12 x 10] + [3 x 80] = 1.920

Pengertian dan Definisi Pabrik/Industri

Pengertian dan Definisi Pabrik/Industri

Pabrik [plant atau factory] adalah tempat di mana factor-faktor produksi seperti manusia, mesin, alat, material, energi, uang [modal/capital], informasi dan sumber daya alam [tanah, air, mineral, dan lain-lain] dikelola bersama-sama dalam suatu system produksi guna menghasilkan suatu produk atau jasa secara efektif, efisien dan aman.

Klasifikasi Industri
1. Industri Penghasil Bahan Baku [extractive/primary industry]
Industri dengan aktivitas produksi mengolah sumber daya alam guna menghasilkan bahan baku maupun bahan tambahan lainnya yang dibutuhkan oleh industri penghasil produk atau jasa.
Contoh : industri perminyakan, industri pengolahan bijih besi, dan lain-lain.

2. Industri Manufaktur [The Manufacturing Industries]
Industri yang memproses bahan baku guna dijadikan bermacam-macam bentuk/model produk, baik yang masih berupa produk setengah jadi [semi finished good] ataupun produk jadi [finished goods product]. Di sini akan terjadi transformasi proses – baik secara fisik maupun kimiawi – terhadap input material dan akan memberi nilai tambah terhadap material tersebut.

Contoh : industri permesinan, industri mobil, dan lain-lain.

3. Industri Penyalur [Distribution Industries]
Industri yang berfungsi untuk melaksanakan pelayanan jasa industri baik untuk bahan baku maupun finished goods product. Di sini bahan baku ataupun bahan setengah jadi akan didistribusikan dari produsen yang lain dan dari produsen ke konsumen. Operasi kegiatan akan meliputi aktivitas pembelian dan penjualan, penyimpanan, sorting, grading, packaging dan moving goods [transportasi].

4. Industri Pelayanan/ Jasa [Service Ibndustries]
Industri yang bergerak di bidang pelayanan atau jasa, baik untuk melayani dan menunjang aktivitas industri yang lain maupun langsung memberikan pelayanan/jsa kepada konsumen.
Contoh : Bank, jasa angkutan, asuransi, rumah sakit, hotel, dan lain-lain.


Ruang Lingkup Perencanaan Fasilitas Produksi
1. Penentuan Lokasi Fasilitas [Facilities Location]
Penetapan lokasi di mana fasilitas-fasilitas produksi harus ditempatkan.
2. Perancangan Fasilitas [Facilities Design]
Meliputi :
a. Perancangan struktur bangunan [structuiral design]
b. Perncangan tata letak fasilitas produksi [Facilities Lay – Out Design]
c. Perancangan Sistem Pemindahan Material [Material Handling System Design]


Beberapa Pertimbangan Penentuan Lokasi
Pada umumnya ada beberapa kondisi yang akhirnya dapat membawa ke persoalan penentuan lokasi pabrik, yaitu:
1. Perluasan pabrik [expansion]
2. Pemecahan pabrik ke dalam sentral-sentral unit kerja [decentralization]
3. Faktor-faktor ekonomis [perubahan pasar, penyediaan tenaga kerja, dan lain-lain].

Suatu industri pada hakekatnya akan memperluas system usahanya bilamana :
1. Fasilitas – fasilitas produksi sudah dirasakan jauh ketinggalan
2. Kebutuhan pasar [market demand] tumbuh dan berkembang di luar jangkauan kapasitas produksi yang ada.
3. Service yang tidak mencukupi dan memuaskan konsumen.

Dasar-Dasar Perencanaan Lokasi
Ada dua langkah utama yang seharusnya diambil dalam proses penentuan lokasi suatu pabrik, yaitu pemilihan daerah atau teritorial secara umum dan pemilihan berdasarkan size dari jumlah penduduk (community) dan lahan secara luas. Berdasarkan telaah literatur Yamit (1996), Wignyosoebroto (1994), dan Assauri (1993) terdapat beberapa kondisi umum seperti tersebut di bawah ini yang akan ikut mengambil peranan di dalam proses penentuan lokasi pabrik, yaitu :
1. Lokasi di kota besar (city location)
a. Diperlukan tenaga kerja terampil dalam jumlah yang besar
b. Proses produksi sangat tergantung pada fasilitas-fasilitas yang umumnya hanya terdapat di kota besar seperti listrik, gas dan lain-lain
c. Kontak dengan suplier dekat dan cepat
d. Sarana transportasi dan komunikasi mudah didapatkan
e. Banyak persoalan tenaga kerja
f. Ekspansi sulit dilakukan dan harga tanah mahal
2. Lokasi di pinggir kota (suburban location)
a. Semi -skilled atau female labor mudah diperoleh
b. Menghindari pajak yang berat seperti halnya kalau lokasi terletak di kota besar
c. Tenaga kerja dapat tinggal berdekatan dengan lokasi pabrik
d. Rencana ekspansi pabrik akan mudah dilakukan
e. Populasi tidak begitu besar sehingga masalah lingkungan tidak banyak timbul
3. Lokasi jauh di luar kota (country location)
a. Lahan yang luas sangat diperlukan baik untuk keadaan sekarang maupun rencana ekspansi yang akan datang
b. Pajak terendah lebih dikehendaki
c. Tenaga kerja tidak terampil dalam jumlah besar lebih dikehendaki
d. Standar upah minimum relatif lebih rendah
e. Tenaga kerja lebih mudah didapatkan
f. Baik untuk proses manufakturing produk-produk yang berbahaya




Faktor-Faktor Yang Dipertimbangkan Dalam Menentukan Lokasi
Banyak faktor yang harus dipertimbangkan dalam penentuan lokasi di mana fasilitas produksi dari sebuah pabrik seharusnya didirikan. Menurut Lockyer et al. (1990) faktor – faktor yang mempengaruhi perencanaan atau pemilihan lokasi adalah :
1. Dekat dengan pasar
2. Integrasi dengan organisasi
3. Tersedia tenaga kerja dan tenaga ahli
4. Tersedia fasilitas
5. Tersedia transportasi
6. Tersedia masukan
7. Tersedia jasa – jasa
8. Kecocokan tanah dan iklim
9. Peraturan – peraturan regional
10. Ruangan untuk perluasan
11. Persyaratan keamanan
12. Biaya tempat
Senada dengan pendapat Lockyer et al., Assauri (1993) mengemukakan terdapat dua faktor yang mempengaruhi pemilihan lokasi pabrik, yaitu :
1. Faktor Utama meliputi : letak dari pasar, letak dari sumber bahan mentah, terdapatnya fasilitas pengangkutan, supply dari buruh dan tenaga kerja yang tersedia, dan terdapatnya pembangkit tenaga listrik (power station).
2. Faktor Sekunder meliputi : rencana masa depan, biaya dari tanah dan gedung, kemungkinan perluasan, terdapatnya fasilitas service, terdapatnya fasilitas pembelanjaan, persediaan air, tinggi rendahnya pajak dan Undang – Undang Perburuhan, masyarakat di daerah itu (sikap, besar, dan keamanan), iklim, tanah, perumahan yang ada dan fasilitas – fasilitas lainnya.
Dari kedua pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya faktor – faktor yang mempengaruhi pemilihan lokasi dapat dikelompokkan menjadi faktor - faktor yang berkaitan dengan input dan output produksi, faktor - faktor yang berkaitan dengan proses produksi dan faktor - faktor yang berkaitan dengan kondisi lingkungan luar.

Tipe Tata Letak Fasilitas Produksi dan Pola Aliran Pemindahan Bahan
Pemilihan dan penempatan alternative lay out merupakan langkah yang kritis dalam proses perencanaan fasilitas produksi, karena di sini layout yang dipilih akan menentukan hubungan fisik dari aktivitas-aktivitas produksi yang berlangsung. Dalam hal ini, juga harus diperhatikan mengenai sistem pemindahan bahan [material handling]. Proses pemindahan bahan merupakan satu hal yang yang penting karena aktivitas ini akan menentukan hubungan atau keterkaitan antara satu fasilitas dengan fasilitas produksi yang lain atau satu departemen dengan departemen yang lain.

Tata Letak Berdasarkan Aliran Produksi [Production Line Product atau Product Lay Out]
Metoda pengaturan dan penempatan semua fasilitas produksi yang diperlukan ke dalam satu departemen secara khusus.
Jika suatu pabrik secara khusus memproduksi suatu macam produk atau kelompok produk dalam jumlah/volume yang besar dan waktu produksi yang lama, maka segala fasilitas produksi dari pabrik tersebut haruslah diatur sedemikian rupa sehingga proses produksi dapat berlangsung seefisien mungkin. Dalam hal ini, mesin dan fasilitas produksi lainnya akan diatur menurut prinsip “machine after machine”.

Beberapa pertimbangan berikut ini menjadi dasar utama dalam penempatan tata letak pabrik berdasarkan aliran produksinya, yaitu:
1. Hanya ada satu atau beberapa standar produk yang dibuat
2. Produk dibuat dalam jumlah/volume besar untuk jangka waktu relative lama.
3. Adanya kemungkinan untuk mempelajari studi gerak dan waktu guna menentukan laju produksi per satuan waktu.
4. Adanya keseimbangan lintasan [line balancing] yang baik antara operator dan peralatan produksi. Setiap mesin diharapkan menghasilkan jumlah produk yang sama per satuan waktu yang sama.
5. Memerlukan aktivitas inspeksi yang sedikit selama proses produksi berlangsung.
6. Satu mesin hanya digunakan untuk melaksanakan satu macam operasi kerja dari jenis komponen yang serupa .
7. Aktivitas pemindahan bahan dari satu stasiun kerja ke stasiun kerja lainnya dilaksanakan secara mekanis, umumnya dengan menggunakan conveyor.
8. Mesin-mesin yang berat dan memerlukan perawatan khsusus jarang sekali dipergunakan dalam hal ini. Mesin produksi biasanya dipilih tipe special purpose dan tidak memerlukan skill operator.

Keuntungan-keuntungan tata letak berdasarkan aliran produksi:
1. Aliran pemindahan material berlangsung lancer, sederhana, logis, dan biaya material handling rendah karena di sini aktivitas pemindahan bahan menurut jarak yang terpendek.
2. Total waktu yang dipergunakan untuk produksi relative singkat.
3. Work in process jarang terjadi karena lintasan produksi sudah diseimbangkan.
4. Adanya insentif bagi kelompok karyawan akan dapat memberikan motivasi guna meningkatkan produktivitas kerjanya.
5. Tiap unit produksi atau stasiun kerja memerlukan luas area yang minimal.
6. Pengendalian proses produksi mudah dilaksanakan.

Kelemahan-kelemahan tata letak berdasarkan aliran produksi:
1. Adanya kerusakan salah satu mesin [machine break down] akan dapat menghentikan aliran proses produksi secara total. Di sini tidak memungkinkan untuk memindahkan beban ke mesin lain [sejenis] karena akan mengganggu aliran untuk membuat produk lain tersebut.
2. Tidak adanya fleksibilitas untuk membuat produk yang berbeda. Perubahan rancangan produk akan menyebabkan lay-out menjdai tidak efektif lagi dipakai.
3. Stasiun kerja yang paling lambat akan menjadi hambatan bagi aliran produksi.
4. Adanya investasi dalam jumlah besar untuk pengadaan mesin baik dari segi jumlah maupun akibat spesialisasi fungsi yang harus dimilikinya.

Contoh aplikasi tata letak pabrik berdasarkan aliran produksi antara lain:
1. Proses manufacturing atau perakitan mobil
2. Peralatan elektronik [TV, Radio] dan lain-lain.




Gambar Product Lay Out


Tata Letak Berdasarkan Lokasi Material Tetap [Fixed Material Location Product Lay Out atau Fixed Position Layout]
Keuntungan-keuntungan tata letak berdasarkan tipe ini:
1. Karena yng bergerak pindah adalah fasilitas-fasilitas produksi, maka perpindahan material bias dikurangi.
2. Bilamana pendekatan kelompok kerja diguanakan dalam kegiatan produksi, maka kontinyuitas operasi dan tanggung jawab kerja bias tercapai dengan sebaik-baiknya.
3. Kesempatan untuk melakukan pengkayaan kerja [job enrichment] dengan mudah bias diberikan, demikian pula untuk meningkatkan kebanggaan dan kualitas kerja bias dilaksanakan karena di sini dimungkinkan untuk menyelesaikan pekerjaan secara penuh [do the wole job].
4. Fleksibilitas kerja sangat tinggi, karena fasilitas-fasilitas produksi dapat diakomodasikan untuk mengantisipasi perubahan-perubahan dalam rancangan produk, berbagai macam variasi produk yang harus dibuat [product mix] atau volume produksi.

Kelemahan-kelemahan tata letak berdasarkan tipe ini:
1. Adanya peningkatan frekwensi pemindahan fasilitas produksi atau operator pada saat operasi kerja berlangsung.
2. Memerlukan operator dengan skill yang tinggi di samping aktivitas supervise yang lebih umum dan intensif.
3. Adanya duplikasi peralatan kerja yang akhirnya menyebabkan space area dan tempat untuk barang setengah jadi [work in process].
4. Memerlukan pengawasan dan koordinasi kerja yang ketat khususnya dalam penjadwalan produksi.



Gambar Fixed Position Lay Out

IV. SISTEM MRP [Material Requirement Planning]

IV. SISTEM MRP [Material Requirement Planning]


A. Pendahuluan
Dalam suatu industri, permintaan terhadap item-item produksi dapat dibedakan ke dalam dua tipe, yaitu:

1. Permintaan tidak tergantung (independent demand)
Bila permintaan terhadap item tersebut tidak dipengaruhi oleh permintaan terhadap item yang lain, permintaan hanya dipengaruhi oleh faktor pasar. Contoh: permintaan produk akhir atau produk jadi bersifat independen.

2. Permintaan tergantung (dependent demand)
Bila permintaan terhadap item tersebut dipengaruhi oleh permintaan terhadap item yang lain. Contoh: komponen setengah jadi dan barang jadi, atau dalam industri mobil, permintaan terhadap ban, jok dan komponen lainnya akan dipengaruhi oleh permintaan terhadap mobil.

Dalam struktur produk, produk jadi memiliki level tertinggi dan bahan baku memiliki level terendah. Komponen setengah jadi dipengaruhi oleh permintaan produk jadi. Pengaruh itu biasanya terhadap jumlah dan waktu. Pengaruh ini akan menyebabkan kondisi lumpy pada item-item yang permintaannya dependen. Pola lumpy digambarkan sebagai pola yang tidak teratur dan tidak kontinu, di mana sejumlah besar permintaan dibutuhkan pada suatu waktu dan sedikit atau tidak sama sekali pada waktu yang lain.

Dalam banyak kasus perusahaan tidak mau memproduksi bila jumlah permintaan dalam suatu perioda hanya satu unit. Karena pertimbangan ekonomis, ada suatu ukuran tertentu (lot size) sebagai satuan produksi. Di samping itu, banyak perusahaan membuat seluruh produknya tidak secara serentak, namun secara bergiliran. Kebijakan inilah yang akan menyebabkan permintaan terhadap komponen dan bahan baku berpola lumpy.






Gambar 13. Pola permintaan EOQ










Gambar 14. Pola Lumpy Pada Permintaan Komponen X



Contoh, 1 unit produk A memerlukan 3 komponen X. Lot size ekonomis produksi adalah sebanyak 50 unit atau kelipatannya. Sesuai permintaan konsumen akan diproduksi A sebanyak 100, 150, 200 dan 100 pada perioda 1, 3, 5, dan 7. Komponen X harus tersedia 300, 450, 600 dan 300 pada perioda 1, 3, 5 dan 7. Permintaan 1 unit produk A akan menyebabkan permintaan 3 unit pada komponen X. Kondisi yang terjadi seperti pada komponen X inilah yang disebut lumpy.

B. Definisi Sistem MRP
1. Sistem MRP adalah suatu prosedur logis berupa aturan atau keputusan dan teknik transaksi berbasis komputer yang dirancang untuk menerjemahkan jadwal induk produksi menjadi kebutuhan bersih untuk semua item.
2. Dikembangkan untuk membantu perusahaan manufaktur mengatasi kebutuhan akan item-item dependen secara baik dan efisien.
3. MRP dirancang untuk membuat pesanan-pesanan produksi dan pembelian untuk mengatur aliran bahan baku dan persediaan dalam proses sehingga sesuai dengan jadwal produksi untuk produk akhir. Hal ini memungkinkan perusahaan memelihara tingkat minimum dari item-item yang kebutuhannya dependen, tetapi tetap dapat menjamin terpenuhinya jadwal produksi untuk produk akhirnya.
4. Dikenal sebagai perencanaan kebutuhan bahan berdasarkan tahapan waktu (time phase requirement planning).

C. Tujuan Sistem MRP
1. Mampu menentukan kebutuhan pada saat yang tepat.
2. Menentukan kebutuhan minimal setiap item.
3. Menentukan pelaksanaan rencana pemesanan.
4. Menentukan penjadwalan ulang atau pembatalan atas suatu jadwal yang sudah direncanakan.


D. Input Untuk Sistem MRP :
1. Master Schedule (Jadwal Induk Produksi)
Dibuat berdasarkan permintaan (yang diperoleh dari pesanan atau peramalan) terhadap semua produk jadi yang akan dibuat. Hasil peramalan (sebagai perencanaan jangka panjang) dipakai untuk membuat rencana produksi agregat (sebagai perencanaan jangka menengah) yang pada akhirnya dibuat jadwal induk produksi (rencana jangka pendek) yaitu menentukan jumlah produksi yang dibutuhkan untuk setiap produk akhir beserta perioda waktunya untuk suatu jangka perencanaan.




Tabel 8. Comtoh Jadwal Induk Produksi

Jenis Produk Perioda
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Produk A 70 67 65 60 63 67 65 60 64 65
Produk B 56 60 57 45 50 55 57 50 56 50
Produk C 80 80 75 65 80 90 100 75 75 80


2. Catatan keadaan persediaan
Menggambarkan status item yang ada dalam persediaan. Setiap item persediaan harus didefinisikan untuk menjaga kekeliruan perencanaan. Catatnan persediaan ini harus tetap dijaga up to date, dengan selalu melakukan pencatatan pada setiap transaksi yang terjadi, yaitu penerimaan, pengeluaran, produk gagal, dan lain-lain. Catatn persediaan juga berisi data tentang lead time, teknik ukuran lot yang digunakan, persediaan pengaman, dan catatan-catan penting lainnya.

Jenis persediaan dalam MRP:
a. Quantity on hand (jumlah yang ada di tangan atau yang dimiliki )
b. Quantity on order (jumlah yang akan diperoleh dari suatu pesanan sebelumnya, atau dari suatu proses pembuatan ).

3. Struktur produk
Berisi informasi tentang hubungan antara komponen-komponen dalam suatu perakitan. Informasi ini sangat penting dalam penentuan kebutuhan kotor dan kebutuhan bersih. Struktur produk juga memberikan informasi tentang item, seperti nomor item, jumlah yang dibutuhkan dalam setiap perakitan dan berapa jumlah produk akhir yang harus dibuat.


E. Output Sistem MRP
Output system MRP adalah berupa rencana pemesanan atau rencana produksi yang dibuat berdasarkan atas dasar lead time.

Lead Time :
Waktu yang dibutuhkan mulai saat pesanan item dilakukan sampai item tersebut diterima dan siap dipakai, baik item tersebut dipesan dari luar maupun dibuat dalam pabrik sendiri.

1. Memberikan catatan tentang pesanan penjadwalan yang harus dilakukan/ direncanakan baik dari pabrik sendiri atau dari suplier.
2. Memberikan indikasi untuk penjadwalan ulang.
3. Memberikan indikasi untuk pembatalan atas pesanan.
4. Memberikan indikasi untuk keadaan persediaan.


F. Prinsip Dasar Sistem MRP

1. Time Phasing
Penambahan dimensi waktu dalam status data persediaan, yaitu dengan penambahan serta perekaman informasi pada tanggal yang spesifik dari perioda perencanaan serta dikaitkan dengan jumlahnya.

Teknik dari Time Phasing adalah membuat suatu hubungan yang relevan antara jumlah kebutuhan dengan waktu/ jadwal perencanaan.

Pendekatan :
a. Pendekatan Tanggal atau Jumlah “Date/ Quantity“( lebih diperlihatkan jumlah kebutuhan pada suatu perioda waktu).

Tabel 9. Contoh pendekatan date/quantity

Kebutuhan Bersih Perioda (hari)
60 130
90 141
20 155
50 160
80 165
80 170


b. Pendekatan Paket Waktu atau “Time-Bucket“ (lebih diperlihatkan akan perioda waktu kemudian dihubungkan dengan jumlah kebutuhan).

Tabel 10. Contoh pendekatan Time-Bucket

Perioda Waktu 1 2 3 4 5 6
Kebutuhan Bersih 40 0 90 0 0 40


2. Status Persediaan : Jumlah persediaan dari setiap item.
Status persediaan diperlukan untuk mengetahui:
a. Item apa yang dimiliki
b. Item apa yang diperlukan
c. Apa yang harus dilkukan

Filosofi :
A + B - C = X

di mana :
A = Jumlah persediaan yang dimiliki saat ini
B = Jumlah yang sedang dipesan
C = Jumlah kebutuhan kotor
X = Jumlah yang tersedia (sisa persediaan)


Tabel 11. Contoh perhitungan persediaan

Perioda Waktu 1 2 3 4 5 6
Persediaan di tangan 40
Penerimaan dari pesanan 0 0 0 0 30 0
Jumlah kebutuhan 0 20 0 35 0 30
Yang tersedia 40 20 20 -15 15 -15

Tanda negatif menunjukkan bahwa terjadi kekurangan persediaan sehingga pesanan baru harus dilakukan.

G. Syarat- Syarat Pendahuluan dari MRP
1. Ada dan tersedianya Jadwal Induk Produksi (Master Schedule), di mana terdapat jadwal rencana dan jumlah pesanan dari item/ produk.
2. Item persediaan mempunyai identifikasi khusus.
3. Tersedianya struktur produk pada saat perencanaan.
4. Tersedianya catatan tentang persediaan untuk semua item, yang menyatakan keadaan persediaan sekarang dan yang akan datang/ direncanakan.

H. Asumsi-Asumsi
1. Adanya data file yang terintegrasi.
2. Waktu ancang (Lead Time) untuk semua item diketahui.
3. Setiap item persediaan selalu ada dalam pengendalian.
4. Semua komponen untuk untuk suatu perakitan dapat disediakan pada saat perakitan akan dilakukan.
5. Pengadaan dan pemakaian komponen bersifat diskrit.


I. Langkah-Langkah Dasar Proses Pengolahan MRP
1. Netting : Perhitungan kebutuhan bersih.
Data yang diperlukan:
a. Kebutuhan kotor untuk setiap perioda
b. Persediaan yang dipunyai pada awal perencanaan
c. Rencana penerimaan untuk setiap perioda perencanaan

NRi = GRi – SRi – OHi dengan NR = 0 bila GR – SR – OH < 0

Dimana:
NRi = Kebutuhan Bersih (Net Requirement/ NR) pada perioda ke i
GRi = Kebutuhan Kotor (Gross Requirement/ GR) pada perioda ke i
SRi = Jadwal penerimaan (Schedulling Receipt/ SR) pada perioda ke i
OHi = Persediaan di tangan (On Hand Inventory/ OH) pada perioda ke i


Contoh:

Tabel 12. Status Data Kebutuhan Sebelum Perhitungan Kebutuhan Bersih

Perioda 1 2 3 4 5 6 7 8 Total
Kebutuhan Kotor 25 30 20 15 90
Jadwal Penerimaan 40
Persediaan Di Tangan 25


Tabel 13. Perhitungan Kebutuhan Kotor

Perioda GRi SRi OHi GRi – SRi - OHi NRi
1 0 0 25 - 25 0
2 25 0 25 0 0
3 0 40 0 - 40 0
4 30 0 40 - 10 0
5 0 0 10 - 10 0
6 20 0 10 10 10
7 15 0 0 15 15
8 0 0 0 0 0
Jumlah 90




Tabel 14. Hasil keseluruhan perhitungan kebutuhan bersih

Perioda 1 2 3 4 5 6 7 8 Total
Kebutuhan Kotor 25 30 20 15 90
Jadwal Penerimaan 40
Persediaan Di Tangan 25 25 25 0 40 10 10 0 0
Kebutuhan Bersih 0 0 0 0 0 0 10 15 0 25

Perhitungan Kebutuhan Bersih Dengan Persediaan Pengaman
Tabel 8 adalah perhitungan kebutuhan bersih di mana dimasukkan pengadaan persediaan pengaman. Misalkan, persediaan pengaman = 5. Artinya pada setiap akhir perioda, jumlah persediaan di tangan (Ohi) minimal = 5 atau lebih, tidak boleh = 0. Pada perioda 2 sebenarnya persediaan sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan kotor, tetapi karena nantinya di akhir perioda 2 persediaan = 0, maka harus diproduksi minimal = 5 (untuk kebijakan sediaan pengaman minimal 5). Perhitungan selengkapnya ditunjukkan pada tabel berikut:


Tabel 15. Perhitungan kebutuhan bersih dengan kebijakan persediaan pengaman

Perioda 1 2 3 4 5 6 7 8 Total
Kebutuhan Kotor 25 30 20 15 90
Jadwal Penerimaan 40
Persediaan Di Tangan 25 25 5 45 15 15 5 5 5
Kebutuhan Bersih 10 20 5 40


2. Lotting : Penentuan besarnya lot.
Lotting adalah suatu proses untuk menentukan besarnya jumlah pesanan optimal untuk setiap item secara individual didasarkan pada hasil perhitungan kebutuhan bersih yang telah dilakukan. Ada banyak alternative metoda untuk menentukan ukuran lot. Beberapa teknik diarahkan untuk meminimalkan total ongkos set-up dan ongkos simpan. Teknik-teknik tersebut adalah teknik lot for lot, economic order quantity, fix order quantity dan fix period review, dan lain-lain. Pembahasan mengenai teknik-teknik tersebut akan diberikan pada bab berikutnya.

Tabel berikut adalah suatu contoh lotting untuk menentukan besarnya jumlah jumlah pemesanan.


Tabel 16. Contoh Proses Lotting

Perioda 1 2 3 4 5 6 7 8 Total
Kebutuhan Bersih 10 15 25
Ukuran Lot 10 15 25



3. Offseting : Penetapan besarnya waktu “Lead Time”
Langkah ini bertujuan untuk menentukan saat yang tepat untuk melakukan rencana pemesanan dalam rangka memenuhi kebutuhan bersih. Rencana pemesanan diperoleh dengan cara mengurangkan saat awal tersedianya ukuran lot yang diinginkan dengan besarnya lead time. Tabel berikut ini memberikan contoh proses offeting dengan lead time sebesar dua perioda.

Tabel 17. Contoh Proses Offseting

Perioda 1 2 3 4 5 6 7 8 Total
Ukuran Lot 10 15 25
Rencana Pemesanan 10 15 25


4. Explosion : Perhitungan selanjutnya untuk level item di bawahnya.
Proses explosion adalah proses penghitungan kebutuhan kotor untuk tingkat item/ komponen yang lebih bawah. Perhitungan kebutuhan kotor ini didasarkan pada rencana pemesanan item-item produk pada level yang lebih atas. Untuk penghitungan kebutuhan kotor ini, diperlukan struktur produk dan informasi mengenai berapa jumlah kebutuhan tiap item untuk item yang akan dihitung.
Dalam proses explosion ini data mengenai struktur produk harus tersedia secara akurat. Ketidak akuratan data struktur produk akan mengakibatkan keslahan pada perhitungan. Atas dasar struktur produk inilah proses explosion dibuat. Dengan data struktur produk dapat ditentukan ke arah komponen mana harus dilakukan explosion. Struktur produk juga harus langsung dimodifikasi bila ada perubahan pada cara produksi atau perakitan.

Tabel 18. Hubungan antara induk dan komponen

Induk

Perioda 1 2 3 4 5 6 7 8

Rencana Pemesanan 40 55


Komponen

Perioda 1 2 3 4 5 6 7 8
Kebutuhan Kotor 40 55



Misalkan struktur produknya sebagai berikut:



Gambar 15. Contoh struktur produk

Ukuran pemesanan A, B dan C dihitung berdasar model EOQ adalah sama sebesar 50 unit dan sediaan pengaman atau safety stock (SS) B dan C adalah 20 unit, maka proses explosion-nya adalah seperti pada tabel berikut.



Item A Level 0
Lot = 50 SS = 20

Perioda 1 2 3 4
Kebutuhan Kotor 40 60 40 60
Sediaan Awal 100 60 0 10
Sediaan Akhir 100 60 0 10 0
Kebutuhan Bersih 0 0 40 50
Jumlah Pesan 0 0 50 50
Rencana Pesan 0 0 50 50 0


Item B Level 1
Lot = 50 SS = 20

Perioda 1 2 3 4
Kebutuhan Kotor 0 50 50 0
Sediaan Awal 70 70 20 20
Sediaan Akhir 70 70 20 20 20
Kebutuhan Bersih 0 0 30 0
Jumlah Pesan 0 0 50 0
Rencana Pesan 0 50 0 0


Item B Level 1
Lot = 50 SS = 20

Perioda 1 2 3 4
Kebutuhan Kotor 0 100 0 0
Sediaan Awal 20 20 20 20
Sediaan Akhir 20 20 20 20 20
Kebutuhan Bersih 0 80 0 0
Jumlah Pesan 0 100 0 0
Rencana Pesan 0 100


Gambar 16. Contoh proses explosion

Kebutuhan kotor item C ditentukan oleh rencana pesan item B. Kebutuhan kotor item B ditentukan oleh rencana pesan item A. Setelah dilakukan proses netting, lotting, dan offseting pada item A sesuai struktur produk maka proses explosion dilakukan pada item B. Kebutuhan kotor item adalah sama dengan rencana pesan item A karena menurut struktur produk, i unit A memerlukan 1 unit B. Setelah selesai dilakukan netting, lotting, struktur produk, 1 unit A memerlukan 1 unit B. Setelah selesai dilakukan netting, lotting, dan offsetting pada item B selanjutnya explosion ditujukan pada item C (sesuai struktur produk). Kebutuhan kotor item adalah sebesar 2 kali rencana pesan item B. Hal ini disesuaikan dengan struktur di mana satu unit item B. Hal ini disesuaikan dengan struktur produk di mana satu unit item B memerlukan 2 unit item C.

I. Faktor Penyebab Kesulitan Dalam Sistem MRP
1. Struktur produk
Struktur produk merupakan sesuatu yang mutlak harus ada untuk dapat diterapkan sistem MRP. Struktur produk yang rumit dan banyak level-nya akan membuat perhitungan semakin kompleks terutama dalam proses explosion.
Struktur produk dengan jumlah level yang besar akan membuat proses MRP (proses netting, lotting, offseting, dan explosion) yang berulang-ulang dilakukan satu per satu dari atas ke bawah level demi level dan perioda demi perioda. Pada proses lotting, penentuan ukuran lot pada level yang paling bawah membnutuhkan teknik-teknik yang sangat sulit (multi level lot size technique). Sehingga dengan semakin kompleksnya struktur produk akan membuat perhitungan proses MRP semakin rumit.
Bila struktur produk tidak berubah-ubah, kesulitan ini hanya terjadi sekali saja, yaitu di awal pembuatan sistem MRP (jika dengan program komputer). Jika struktur produk berubah, maka sistem yang telah dibuat harus dimodifikasi.

2. Ukuran lot
Berdasarkan tingkatannya, teknik penentuan lot dapat dikategorikan sebagai berikut:
a. Teknik ukuran lot untuk satu tingkat dengan kapasitas tak terbatas
b. Teknik ukuran lot untuk satu tingkat dengan kapasitas terbatas
c. Teknik ukuran lot untuk banyak tingkat dengan kapasitas tak terbatas
d. Teknik ukuran lot untuk banyak tingkat dengan kapasitas terbatas

a.Teknik ukuran lot untuk satu tingkat dengan kapasitas tak terbatas dapat diklasifikasikan ke dalam empat cara sebagai berikut:
(1) Fixed Order Quantity (FOQ)
(2) Lot – For – Lot [L – 4 – L]
(3) Fixed Period Requirement [FPR]
(4) Economic Order Quantity [EOQ]

Teknik ukuran lot FOQ dan EOQ berorientasi pada tingkat kebutuhan [demand rate], sedangkan teknik ukuran lot FPR dan L-4-L merupakan teknik ukuran lot diskrit karena hanya memenuhi permintaan sesuai dengan yang telah direncanakan dalam perioda tertentu. Ukuran lot diskrit tidak akan menghasilkan sisa jumlah komponen karena Teknik tersebut hanya memenuhi permintaan dengan jumlah yang sama seperti telah direncanakan. Kelemahan dari teknik ukuran lot diskrit ini adalah bila di masa yang akan datang [perioda mendatang] terjadi lonjakan permintaan, maka harus dilakukan perhitungan ulang.
Teknik penentuan ukuran lot mana yang paling baik dan tepat bagi suatu perusahaan adalah persoalan yang sangat sulit, karena sangat tergantung pada hal-hal sebagai berikut:
(1) Variasi dari kebutuhan, baik dari segi jumlah maupun periodanya
(2) Rentang waktu perencanaan
(3) Ukuran periodanya (mingguan, bulanan dan sebagainya)
(4) Perbandingan biaya pesan dan biaya simpan.

b. Teknik ukuran lot untuk satu tingkat dengan kapasitas terbatas

(1) Fixed Order Quantity [FOQ]
Dalam metoda FOQ ukuran lot ditentukan secara subjektif. Berapa besarnya dapat ditentukan berdasarkan pengalaman produksi atau intuisi. Tidak ada teknik yang dapat dikemukakan untuk menentukan besarnya ukuran lot ini. Kapasitas produksi selama lead time produksi dalam hal ini dapat digunakan sebagai sebagai dasar untuk menentukan besarnya lot. Sekali ukuran lot ditetapkan, maka lot ini akan digunakan untuk seluruh perioda selanjutnya dalam perencanaan. Berapa pun kebutuhan bersihnya, rencana pesan akan tetap sebesar lot yang telah ditentukan tersebut. Metoda ini dapat ditempuh untuk item-item yang biaya pemesanannya (ordering cost) sangat mahal.
Contoh, ukuran lot produksi secara intuitif telah ditentukan sebesar 100 unit, kemudian pemesanan dilakukan apabila jumlah kebutuhan bersih untuk beberapa perioda yang akan datang mendekati 100.
Salah satu ciri dari metoda FOQ ini adalah ukuran lot-nya selalu tetap, tetapi perioda pemesannya yang selalu berubah.

Tabel 19. Penetapan ukuran Lot dengan FOQ

Perioda 1 2 3 4 5 6 7 8
Kebutuhan Bersih 20 50 60 80 40 40 40 60
Jumlah Pesan 100 100 100 100
Sediaan 80 30 70 90 50 10 70 10


(2) Economic Order Quantity [EOQ]
Penentuan lot berdasarkan biaya pesan dan biaya simpan, dengan formula seperti berikut:



EOQ = 75 unit

Di mana :
A = Order Cost
D = Demand rata-rata per horizon
H = Holding Cost

Contoh:
Diketahui:
A = Rp. 21.500
D = 400 unit
H = Rp. 3000 per perioda

Maka EOQ =



EOQ = 75 unit

Tabel 20. Penetapan ukuran lot dengan EOQ

Perioda 1 2 3 4 5 6 7 8
Kebutuhan Bersih 20 50 60 80 40 40 40 60
Jumlah Pesan 75 75 75 75 75 75
Sediaan 55 5 20 15 50 10 45 60

Biaya simpan = [55 + 5 + 20 + 15 + 50 + 10 + 45 + 60] x Rp. 3.000 = Rp. 780.000
Biaya pesan = 6 x Rp. 21.500 = Rp. 129.000

Biaya Total = Rp. 909.000

Metoda EOQ ini biasanya dipakai untuk horizon perencanaan selama satu tahun sebesar 12 bulan. Metoda EOQ baik digunakan bila semua data konstan dan perbandingan biaya pesan sangat besar.

(3) Lot – For – Lot [L-4-L]
Teknik penetapan ukuran lot didasarkan atas dasar pesanan diskrit. Di samping itu, teknik ini merupakan cara paling sederhana dari semua teknik ukuran lot yang ada. Teknik ini selalu melakukan perhitungan kembali (bersifat dinamis) terutama apabila terjadi perubahan pada kebutuhan bersih. Penggunaan teknik ini bertujuan untuk meminimumkan ongkos simpan, sehingga dengan teknik ini ongkos simpan menjadi nol. Oleh karena itu, sering sekali digunakan untuk item-item yang mempunyai biaya simpan per unit sangat mahal. Apabila dilihat dari pola kebutuhan yang mempunyai sifat diskontinu atau tidak teratur, maka teknik L-4-L ini memiliki kekampuan yang baik. Di samping itu, teknik ini sering digunakan pada sistem produksi manufaktur yang mempunyai sifat set-up permanen pada proses produksinya.


Tabel 21. Penetapan ukuran lot dengan EOQ

Perioda 1 2 3 4 5 6 7 8
Kebutuhan Bersih 20 50 60 80 40 40 40 60
Jumlah Pesan 20 50 60 80 40 40 40 60
Sediaan 0 0 0 0 0 0 0 0


Biaya simpan = 0 x Rp. 3.000 = Rp. 0
Biaya pesan = 8 x Rp. 21.500 = Rp. 168.000

Biaya Total = Rp. 168.000


(4) Fixed Period Requirement [FPR]
Penentuan ukuran lot didasarkan pada perioda waktu tertentu saja. Besarnya jumlah kebutuhan tidak berdasarkan ramalan, tetapi dengan cara menjumlahkan kebutuhan bersih pada perioda yang akan datang.
Bila dalam metoda FOQ besarnya jumlah ukuran lot adalah tetap sementara selang waktu antar pemesanan tidak tetap. Dalam metoda FPR ini selang waktu antar pemesanan dibuat tetap dengan ukuran lot sesuai pada kebutuhan bersih.

Untuk contoh yang sama, misalkan ditentukan perioda pemesanan adalah setiap 2 perioda (ditentukan secara intuitif). Hasil perhitungannnya adalah:






Tabel 22. Penetapan ukuran lot dengan FPR

Perioda 1 2 3 4 5 6 7 8
Kebutuhan Bersih 20 50 60 80 40 40 40 60
Jumlah Pesan 70 140 80 100
Sediaan 50 0 80 0 40 0 60 0


Biaya simpan = 230 x Rp. 3.000 = Rp. 690.000
Biaya pesan = 4 x Rp. 21.500 = Rp. 86.000

Biaya Total = Rp. 776.000


3. Lead time yang berbeda-beda
Salah satu data yang erat kaitannya dengan waktu adalah lead time, di mana lead time akan mempengaruhi proses offseting. Suatu perakitan tidak dapat dilakukan apabila komponen-komponen [embentuknya belum siap tersedia. Kompleksnya masalah akan dirasakan pada tahap penentuan ukuran lot di setiap tingkat produksi. Dalam kaitannya dengan hal ini, persoalannya bukan hanya menentukan besarnya lot, tetapi juga harus memperhatikan persoalan ketergantungan tersebut. Lead time produksi juga akan tergantung pada berapa banyak jumlah yang diproduksi. Pada metoda FOQ dan EOQ pesanan bisa berbeda, misalnya rencana pesanan 20 akan memiliki lead time lebih singkat daripada rencana pesan sebesar 200 unit.

4. Perubahan kebutuhan terhadap produk akhir dalam horizon perencanaan
Sistem MRP dirancang untuk menjadi system yang fleksibel terhadap perubahan-perubahan, baik perubahan dari luar (permintaan) maupun dari dalam (kapasitas). Fleksibilitas ini bukannya tidak menimbulkan masalah. Perubahan kebutuhan akan produk akhir tidak hanya berpengaruh pada penentuan rencana pemesanan (timing) namun mempengaruhi pula penentuan jumlah kebutuhan yang diinginkan. Sebagai contoh, ada struktur produk sebagai berikut:



Dengan persediaan awal = 15



Dengan persediaan awal = 25



Misalnya ada dua macam kebutuhan kotor A (dianggap sebagai perubahan lebutuhan pada 2 perioda perencanaan:

Tabel 23. Data kebutuhan kotor komponen A untuk 2 kasus

Kasus Kasus I Kasus II
Perioda Waktu 1 2 1 2
Kebutuhan Kotor 15 75 75 15

Tabel 24. Contoh perhitungan akibat perubahan kebutuhan


Kasus Kasus I Kasus II
Perioda Waktu 1 2 1 2
Komponen A
Kebutuhan Kotor 15 75 75 15
Persediaan 15 0 15 25
Kebutuhan Bersih 0 75 60 10
Komponen B
Kebutuhan Kotor 10 75 60 10
Persediaan 25 15 25 0
Kebutuhan Bersih 0 [15] 60 35 10


Dari contoh terlihat bahwak kebutuhan bersih komponen B untuk kasus I berbeda dengan kasus II. Jika dihubungkan dengan lead time, perbedaan besarnya lot di suatu perioda akan mempengaruhi jadwal pemesanan. Maka dapat dibayangkan apa yang terjadi apabila perubahan-perubahan ini dalam harian,. Proses perhitungan kembali harus dilakukan setiap hari, sehingga perhitungan menjadi tidak efisien.

5. Komponen-komponen yang bersifat umum (commonality)
Komponen umum berarti komponen tersebut dibutuhkan oleh lebih dari satu induk item-nya. Komponen umum ini akan menimbulkan kesulitan pada proses netting dan lotting (khususnya untuk lotting dalam kasus multi level). Proses lotting untuk komponen ini diperoleh dari semua induknya dengan terlebih dahulu menentukan rencana kebutuhan (waktu dan jumlah).
Kesulitan pada komponen umu akan terjadi apabila komponen umum tersebut ada pada level yang berbeda, baik dalam satu struktur produk yang sama maupun struktur yang berbeda. Contoh komponen umum digambarkan sebagai berikut:



Gambar 17. Komponen umum pada level yang berbeda [komponen A = komponen umum]














Perioda Perioda
1 2 3 4 5 6 1 2 3 4 5 6
25 15 20 20




1 2 3 4 5 6
25 15



Gambar 18. Kebutuhan kotor komponen A